Halaman

Label

Senin, 08 April 2013

THALAQ, LI’AN, ILAA, dan ZIHAR


BAB I
PENDAHULUAN

I.1   Latar Belakang Masalah

Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam perkawinan, maka perlu digaris bawahi bahwasanya permasalahan-permasalahan ini perlu dicermati akar-akar permasalahannya. Akan tetapi pemakalah hanya membatasi pembahasan materi Thalaq, Li’an, Ila, dan Zihar sebagai tugas makalah dari Dosen mata kuliah Fiqih Munakahat.
Dengan harapan  mahasiswa mampu memahami dan selanjutnya dapat mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga konsep-konsep terkait ajaran-ajaran islam mengenai perkawinan bisa teraplikasikan secara benar sehingga bisa tercipta kehidupan yang harmonis di masyarakat.



I.2   Rumusan Masalah
·         Pengertian, syarat, hukum, dan macam-macam thalaq.
·         Pengertian, tata cara, dan hukum Li’an.
·         Pengertian, Thalaq yang jatuh karena Ilaa, dan cara kembali dari sumpah Ilaa.
·         Pengertian, hukum, dan Pendapat para Ulama’ tentang Zihar.






BAB II
 PEMBAHASAN
1.      Thalaq
a.      Pengertian Thalaq
Kata “thalaq” dalam bahasa Arab berasal dari kata thalaqa-yathalaqu-thalaqa yang bermakna melepas/mengurai tali pengikat, baik tali itu bersifat kongkrit maupun abstrak, kata thalaq merupakan isim masdar dari kata thalaqa-yathaliqu-thathqar yang bermakna “irsai” dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan[1].
Al-Jaziri dalam kitabnya al-fiqh alal madzahibil arba’ah memberikan definisinya :
اَطَّلاَ قُ اِزْ لَةُ النِّكَاحِ اَوْ نُقْصَانِ حَلِّهِ بِلَفْظٍ مَخْصُوْصٍ.
Thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan / mengurangi pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu
Dalam istilah agama, “thalaq” artinya melepaskan ikatan perkawinan / bubarnya hubungan perkawinan[2].
حُلُّ رَابِطَةٍ الزَّاوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَ قَةِ الزَّوْجِيَّةِ
“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
b.  Syarat-syarat Thalaq
1.Suami
 a) Berakal
 b) Baligh
 c) Atas kemauan sendiri, karena bila atas kehendak orang lain tidak sah. Rasulullah bersabda :
اِنَّ اللهَ وَضَحَ عَنْ اُمَّتِىالْخَطَاءَ وَالنِّسْيَانَ وَمَااسْتُكْرِ هُوَاعَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dosa silap, lupa dan suatu yang dipaksakan kepadanya
2.Istri
 a) Masih dalam lindungan suami
 b) Berdasarkan atas akad perkawinan yang sah[3].
c.  Hukum-hukum Thalaq
              Dalam kehidupan suami istri tidak sepantasnya mereka berusaha memutuskan / merusak tali perkawinan. Meskipun suami diberi hak menjatuhkan thalaq tanpa alasan / sebab termasuk perbuatan tercela dan benci Allah. Rasulullah bersabda:
اَبْغَضُ الْحَـلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan thalaq”
Dan seseorang yang berusaha merusak tali hubungan suami istri dipandang keluar dari rel kebijaksanaan hukum Islam dan tidak sepantasnya ia menanamkan seorang muslim.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
Bukanlah termasuk golonganku orang merongrong hubungan seorang suami istri
              Dalam hukum thalaq, para fuqaha berbeda-beda pendapat mengenai hukum asalnya, yaitu pendapat yang menetapkan bahwa suami diharamkan menjatuhkan thalaq kecuali karena darurat (terpaksa). Adapun sebab-sebab dan alasan-alasan untuk jatuhnya thalaq yang menyebabkan kedudukannya menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.
1.         Thalaq menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri, dalam hal ini suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri, serta menunaikan kewajibannya sebagai suami.
              Menurut H. Sulaiman Rasyid bahwa thalaq menjadi wajib apabila terjadi perselisihan antara suami istri dengan 2 hakim yang mengutus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya cerai.
2.  Thalaq menjadi sunnah apabila suami istri tidak sanggup membayar kewajiban (nafkah) dengan cukup / si istri rusak moralnya (tidak menjaga kehormatan dirinya), seperti berbuat zina, melanggar larangan agama / meninggalkan kewajiban agama seperti shalat, puasa.
3.   Haram (bid’ah) jika istri dalam keadaan haid dan suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan wanita lain.
              Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa thalaq diharamkan bila tidak ada keperluan untuk itu dikarenakan thalaq yang demikian dapat menimbulkan mudharat.
4.  Mubah, hukum ini dibolehkan ketika ada keperluan seperti jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri terhadap suami, suami menderita karena tingkah laku istri dan suami tidak mencapai tujuan perkawinan karena istri.
5.  Makruh, dikarenakan thalaq itu menghilangkan perkawinan yang di dalamnya terkandung kemaslahatan-kemaslahatan yang sunnahkan dan makruh merupakan hukum asal dari thalaq tersebut[4].

d.  Thalak Ba’in dan Raj’i
              Para ulama’ sepakat bahwa thalak itu ada dua macam, yakni thalak ba’in dan thalak raj’i. Thalak raj’i adalah thalak dimana suami masih memiliki hak untuk rujuk kepada isteri tanpa harus ada persetujuan dari isteri. Diantara syaratnya adalah ialah suami telah menggauli isterinya. Mereka sepakat dalam hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW:
انه صلى الله عليه وسلم امره ان يرا جع زوجته لما طلقها حا ئضا
Artinya: “Bahwa Nabi SAW menyuruhnya untuk merujuk isterinya setelah dia menceraikannya dalam keadaan haid”.
              Adapun thalak ba’in, mereka sepakat bahwa thalak tersebut terdapat pada thalak yang belum menggauli isteri, karena bilangan thalak dank arena adanya pengganti dalam khulu’. Berdasarkan perselisihan di antara mereka, apakah khulu’ itu thalak atau fasakh, sebagaimana yang akan dijelaskan selanjutnya.
              Mereka sepakat bahwa jumlah yang mengharuskan thalak ba’in pada thalak wanita yang merdeka yaitu tiga kali thalak, jika dijatuhkan secara terpisah, sesuai dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al Baqarah:229.
Jumhur ulama’ juga sepakat bahwa perbudakan berpengaruh dalam menggugurkan jumlah thalak dan yang mengharuskan adanya thalak ba’in dalam perbudakan adalah dua kali. Mereka berbeda pendapat apakah hal ini juga diakui berdasarkan perbudakan suami atau berdasarkan perbudakan isteri atau perbudakan perbudakan yang ada pada keduanya. Maka dalam pembahasan ini terdapat tiga masalah :
1.         Hukum thalak tiga dengan sekali ucap
·            Jumhur fuqaha’ berbagai berbagai pendapat bahwa thalak dengan lafadz tiga kali hukumnya adalah hukum thalak ketiga.
·            Ahlu Zhahir dan sekelompok ulama’ mengatakan hukumnya adalah hukum thalak sekali, dan lafadz tidak ada pengaruhnya dalam hal itu.
              Orang yang mencerai lafadz yang bermakna cerai sebanyak tiga kali berarti jatuh thalak sekali, bukan thalak tiga. Mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, dia mengatakan :
كان اطلاق على عهد رسول الله  صلى الله عليه وسلم وابى بكر وسنتينى من خلا فتى عمر طلا ق الثلا ث وا حدة فامضاه عليهم عمر
Artinya: “ Thalak dimasa Rasullullah SAW, Abu Bakar dan dua tahun dari kekholifahan Umar, thalak lafadz tiga kali adalah satu thalak, kemudian Umar memberlakukannya atas orang-orang”.[5]
              Ulama’ yang mendukung pendapat jumhur berhujjah dengan hadits Ibnu Abbas yang terdapat dalam ash Shahihain, dari kalangan pengikutnya hanya thawus sendiri yang meriwayatkan, sedangkan sebagian besar pengikutnya meriwayatkan darinya tentang keharusan thalak tersebut menjadi tiga kali thalak, diantaranya Sa’id bin Jubair, Mujahid, Atha’, Amru bin Dinar dan sekelompoknya.
              Sebab perbedaan pendapat apakah hokum yang dijadikan oleh syari’at sebagai thalak ba’in untuk thalak yang ketiga itu terjadi dengan seorang yang mukallaf mengharuskan dirinya terhadap hokum ini dalam thalak satu atau tidak terjadi, dan hal itu tidak menjadi keharusan kecuali sesuatu yang diharuskan oleh syari’at.
              Adapun ulama’ yang menyamakannya dengan nadzar dan sumpah, yang jika seorang hamba mengharuskannya, maka hal itu menjadi keharusan baginya bagaimanapun keadaannya, berarti dia telah mengharuskan thalak untuk dirinya.
              Jumhur lebih menguatkan hokum agar bersikap keras dalam masalah thalak untuk menutup kerusakan, tetapi hal itu bias batal dengan adanya rukhsah syar’i dan kelembutan.
2.         Apakah pengurangan jumlah thalak dihitung karena perbudakan suami ataukah isteri?
              Ulama’ yang mengatakan bahwa pengaruh dalam hal ini dimiliki oleh orang yang menguasai thalak, mereka berpendapat bahwa yang jadi pertimbangan ialah laki-laki. Sementara ulama’ yang mengatakan bahwa pengaruh dalam hal ini oleh orang yang menerima thalak, mereka berpendapat bahwa itu adalah salah satu hokum wanita yang dithalak, jadi mereka menyamakannya dengan iddah.
              Kelompok yang berhujjah dengan hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu’ kepada Nabi SAW, beliau bersabda :
الطلاق بالرجال والعدة بالنساء
Artinya : “ thalak itu berada ditangan lelaki dan iddah berada ditangan wanita”
Hanya saja hadits diatas tidak terdapat dalam hadits-hadits shahih.
              Adapun ulama’ yang memperhitungkan orang yang menjadi budak diantara keduanya (suami-isteri), karena menjadikan sebab hal itu ialah perbudakan secara mutlak dan tidak menjadikan sebab hal itu ialah bukan laki-laki bukan pula perempuan dengan perbudakan.[6]

3.         Pengurangan perbudakan pada pengurangan jumlah thalak
Permasalahan perbudakan yang berpengaruh pada pengurangan jumlah thalak :
-             Sebagian ulama’ menceritakan bahwa hal itu menjadi ijma’.
-             Abu Muhammadbin Hazm serta kelompok ulama’ dari ahli zhahir berbeda pendapat dalam masalah tersebut, mereka berpendapat bahwa orang merdeka dan budak dalam hal ini sama.
              Sebab perbedaan pendapat diantara para ulama’ adalah kontradiksi makna zhahir dengan qiyas. Yaitu bahwa jumhur berpendapat demikian karena mengqiyaskan thalak seorang budak laki-laki dan budak wanita dengan hukuman yang diterima keduanya dan mereka telah sepakat bahwa perbudakan berpengaruh dalam pengurangan hukuman.

2.      Li’an
a.   Pengertian
Li’an secara etemologi adalah bermakna muba’adah (jauh) dalam arti adanya li’an ini menyebabkan pasangan suami istri jauh dari rahmat Allah atau menyebabkan terjadinya perpisahan di antara keduanya. Secara terminologi adalah kalimat-kalimat tertentu yang dijadikan argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah menodai kesucian istrinya. Sedangkan dasar pijakan dalam persoalan ini adalah firman Allah yang berbunyi :
Dan apabila ada seorang laki-laki yang sudah aqil baligh menuduh zina terhadap istrinya, baik tuduhan tersebut bersifat jelas seperti mengatakan “engkau telah berzina”, atau tidak jelas (kinayah) seperti mengatakan “wahai orang yang durhaka atau fasiq dan sebagainya”, maka pernyataan ini berkonsekuensi had bagi si suami. Apabila suami tidak mampu mendatangkan saksi atau tidak melakukan li’an.

b.  Tata cara dalam melakukan LI’an
Adapun tata cara dalam melakukan Li’an adalah sebagai berikut :
1. Suami harus mengucapkan kalimat : “Demi Allah, saya benar dalam tuduhan saya”. Sebanyak empat kali dihadapan hakim. Dan sunah juga dipertontonkan dihadapan halayak ramai.
2. Apabila si suami tidak ingin mengakui bahwa anak yang lahir dari rahim istrinya itu adalah anaknya, maka si suami dalam persyaratannya harus menambah lafad :  
3. Sesudah pernyataan tersebut sudah dibaca empat kali, maka hakim atau yang mewakili harus memberi peringatan terhadap yang bersangkutan tentang pedihnya siksaan Allah.
4. Sesudah itu, suami harus berkata kembali dengan kalimat : “Demi Allah jika saya dusta dalam tuduhan saya, niscaya saya ditimpa laknat dari Allah”

Ada lima yang akan terjadi setelah terjadinya li’an yaitu :
Ø  Suami terlepas dari had
Ø  Kewajiban had bagi istri
Ø  Lepasnya ikatan perkawinan untuk selama-lamanya
Ø  Lepasnya hubungan nasab di antara anak dengan bapaknya
Ø  Haram bagi mantan suami menikah lagi dengan mantan istrinya.
Dan bagi si istri masih ada cara untuk membela diri agar bisa terhindar dari had yaitu dengan cara melakukan li’an juga. Sedangkan tata caranya seperti halnya di atas, Cuma kalimat yang harus diucapkan yang berbeda. Adapun kalimat yang diucapkan sebagai berikut : “Demi Allah suami saya itu berdusta”. Dan kemudian berkata “Demi Allah kemurkaan Allah akan menimpa saya jika suami saya itu benar”. Namun hanya saja dalam pernyataan ini tidak ada yang namanya nafyul walad karena anak tersebut jelas-jelas keluar dari rahimnya sendiri.
Ketentuan had bagi suami itu apabila istri yang dituduh zina bukan tergolong anak-anak dan perawan yang sama masih belum dijima’, apabila tergolong, maka konsekuensinya bukan bernama had akan tetapi ta’zir.
Suami tetap di had, walaupun pada saat menuduh zina dalam keadaan hilang ingatan, apabila hal tersebut memang disengaja seperti mabuk-mabukan.
Sedangkan had bagi orang tersebut yaitu 80 cambukan jika berstatus merdeka dan 40 cambukan jika berstatus budak. Sedangkan masalah ta’zir itu tidak ada batasan yang seperti : dalam arti tergantung situasi dan kondisi yang ada.

c.  Hukum-Hukum Yang Menimpa Orang Yang Melakukan Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
1.         Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”[7] 
2.         Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”[8] 
3.         Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.”[9] 
4.         Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.”[10]
5.         Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.”[11]

3. Ila.
a. Pengertian Ila.
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
    Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227.

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
     Artinya :
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan ( lamanya ) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.
b. Thalak yang Jatuh Karena Ilaa'
              Menurut Abu Hanifah, thalak yang terjadi karena ilaa' merupakan thalak ba’in. Karena jika thalak itu raj‘i, maka dimungkinkan bagi suami untuk memaksanya ruju’. Sebab, hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu menghilangkan kepentingan isteri dan dimana ia (isteri) tidak dapat menghindarkan diri dari bahaya.
             Imam Malik, Imam Syafi’i, Said bin Musayyab dan Abu Bakar bin Abdirrahman mengatakan, bahwa ilaa’ itu merupakan thalak raj‘i, karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ila’ itu thalak ba’in.
c. Cara kembali dari sumpah Ila’
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ yang tersebut dalam ayat di atas ada tiga pendapat :
§  Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar ( berbuat ) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq bain.
§  Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
§  Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
   Ila’ ini pada jaman jahiliyah berlaku menjadi talak, kemudian diharamkan oleh agama islam.
Menurut sebuah riwayat dari asy-sya’bi yang dia terima dari masruq dari aisyah, kata beliau :
 “Rasulullah SAW pernah juga mengila’ dan mengharamkan ( diri ) terhadap istri-istrinya, lalu yang haram beliau jadikan halal, sedang untuk ( menembus ) sumpahnya beliau membayar kiparat.
Dijaman jahiliyah laki-laki sudah terbiasa bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya setahun atau bahkan dua tahun. Dan kebanyakan dengan tujuan menyiksa Istri mereka dibiarkan begitu saja tidak diurusi. Jadi bersuami tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan rahmat-Nya, Allah SWT hendak membatasi perbuatan ini yang tidak peri kemanusiaan, lalu diberikan tempo selama empat bulan. Biarlah selama empat bulan itu laki-laki melampiaskan kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia kemudian malah menjadi sadar kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa penangguhan itu dia sadar, maka boleh dia melanggar sumpahnya dengan menggauli istrinya, lalu bayarlah kiparat buat penembus sumpahnya. Kalau tidak, maka ia wajib menceraikan istrinya.
Apabila seorang suami telah bersumpah takkan mendekati istrinya. Akan tetapi selagi belum habis masa empat bulan, dia telah menyetubuhinya, maka dengan sendirinya ila’ pun selesailah urusanya. Laki-laki itu tinggal membayar kiparat sumpah.
Beberapa pendapat jikalau masa empat bulan itu telah lewat, dan laki-laki itu tetap tidak menggauli istrinya, maka menurut
·         Jumhur ulama, istrinya menuntut untuk bersetubuh atau diceraikan. Akan tetapi suaminya menolak maka jumhur ulama berpendapat bahwa hakim diperkenankan menceraikan laki-laki itu dari istrinya, demi menjaga wanita itu dari bahaya.
·         Ulama ahmad, asy-syafi’I dan para ulama ahlu zhahir, hakim itu tetap belum boleh menceraikan mereka, tapi suami itu boleh didesak dan ditahan sampai dia menceraikan sendiri istrinya.
·         Ulama hanafi, apabila masa empat bulan itu lewat, sedangkan suami belum juga mengumpuli istrinya, maka dengan sendirinya istri itu telah dicerai secara bain, begitu masa penangguhan habis. Dan suami itu tidak berhak lagi rujuk kepadanya, karena dia telah menyia-nyiakan haknya sendiri kenapa tidak mau menggauli istrinya tanpa udzur yang berarti dia tidak menghargai haknya sendiri sebagai suami, disamping dzalim terhadap istrinya.

4. Zihar
a. Pengertian Zihar
        Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya.
          Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.
Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar bukan talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang menzihar istrinya harus membayar kafarat.[12]
Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri dengan perempuan yang diharamkan (mahram) baginya (dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.
            Dzihar merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau menzalimi isterinya. Mereka mengucapkan kata-kata dzihar, semisal "punggungmu seperti punggung ibuku" demi mengharamkan isterinya bagi dirinya dan sang isteri tidak bisa dinikahi oleh orang lain karena belum diceraikan secara resmi.[13]

b. Hukum Zihar
Para ulama sepakat mengatakan zihar itu hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang melakukan zihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para ulama ini berdasarkan penjelasan yang gamblang dari Al-Qur'an dan Hadits tentang tidak bolehnya zihar:
1.         Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zihar
2.         Penzihar wajib membayar kafarat zihar[14]
             Setelah kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali kepada istrinya. Kafarat zihar yang haruslah dibayar harus berurutan, artinya apabila dia tidak sanggup membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia membayar dengan bentuk yang kedua, Selanjutnya bila tidak sanggup membayar bentuk yang kedua, maka dia harus membayar dengan bentuk yang ketiga. Bentuk kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu maka dia harus puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka dia harus memberi makan kepada 60 orang miskin.

            Hukum syara' memang memperberat kafarat zihar karena syar'i, Allah SWT ingin menjaga kelanggengan hubungan suami istri dan mencegah istri dari perbuatan yang zalim. Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat (denda) zihar itu berat maka dia tentu akan berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan istrinya dan dia diharapkan tidak mau berbuat zalim kepada istrinya dengan cara apapun juga termasuk zihar.[15]
Para ulama sepakat mengatakan bahwa menyamakan istri dengan punggung ibu adalah zihar, tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal menyamakan istri dengan punggung bukan ibu. Misalnya menyamakan istri dengan mahram suaminya, misalnya suami mengatakan " Anti Alayya Kazahri Ukhti" artinya engkau bagiku adalah seperti punggung saudara perempuanku.
Menurut golongan Abu Hanifah menyamakan istri dengan mahram suami adalah zihar. Al-Auza'i Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i dan Zaid Ibnu Ali pada salah satu qaulnya mengatakan bahwa laki-laki menyamakan istrinya dengan salah seorang mahramnya yang haram dinikahi baginya selama-lamanya baik karena nasab atau karena rada'ah adalah termasuk zihar. Oleh karena itu haram baginya mencampuri istrinya tersebut untuk selama-lamanya.
Segolongan ulama yang lain mengatakan, menyamakan istri dengan salah seorang mahram yang bukan ibu atau menyamakan istri dengan selain punggung ibu adalah juga termasuk zihar. 
Dasar Hukum zihar adalah terdapat dalam Surat Al-Mujadalah ayat 1-4 beserta dengan asbabun nuzulnya ayat 1-6 mengenai kasus Aus Bin Ats-Tsamid yang menzihar istrinya bernama Khaulah Binti Malik Ibn Tsalabah. Dasar hukum zihar itu juga berdasarkan riwayat Salamah Ibn sahl Al-Bayadi yang menzihar istrinya di bulan Ramadhan. Di samping itu dasar hukum zihar adalah Surat Al-Ahzab ayat 4.[16]
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ

Artinya:" Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu. Dan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar."(Q.S.Al-Ahzab:4).[17]
3.  Hukum Suami yang Menzhihar Isterinya Kemudian  Menyetubuhinya  Sebelum Habis Waktu
           Dalam kitab Al-Raudhah dikatakan Jika seorang suami yang menzihar lalu menyetubuhi isternya sebelum habis waktu atau sebelum membayar kafarat, maka ia harus menghentikannya sehingga membayar atau setelah habis waktu yang ditentukan Hal ini sesuai dengan hadits bahwa Rasulullah pernah menuturkan kepada orang yang menzhihir kemudian menyetubuhi isterinya: “Janganlah kamu mendekatinya sehingga kamu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud Nasai dan Tirmidzi) Hadits ini dishahihkan oleh Imam At-Tirmizy dan Al- Hakim.

c. Kapan Pembayaran Kafarat itu Diwajibkan?
Ijma’ ulama menyatakan, bahwa kafarat itu diwajibkan setelah suami yang mengucapkan zhihar menarik kembali ucapannya. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT: “Kemudian mereka hendakmenanikkembali apa yang merekca ucapkan.” (Al-Mujadilah: 3)
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai sebab diwajibkannya kafarat tersebut, apakah karena adanya penarikan ucapan itu atau zhihar itu sendiri. Mereka juga berbeda pendapat, apakah yang diharamkan bagi suami yang menzhihar isterinya itu cuma berhubungan badan saja atau termasukjuga cumbuan awal sebelum berhubungan badan. Mengenai masalah mi, jumhur ulama berpendapat, bahwa yang diharamkan itu termasuk juga rangsangan Sebelum hubungan badan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Azza wa Jalla: “Sebelum kedua suami isteri tersebut bercampur.“(Al-Mujadilah: 3)
Dan sebagian ulama berpendapat hanya pada hubungan badan saja, dimana mereka mengatakan ‘Karena Yatamassa dalam ayat tersebut sebagai kinayah (kiasan) dan jima’.” Di samping itu, para ulama juga berbeda pendapat mengenai pengertian “Al-‘Aud” (penarikan ucapan) itu sendiri. Qatadah, Said bin Jubair, Abu Hanifah dan para sahabatnya mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan “Al-‘Aud” adalah keinginan untuk berhubungan badan yang telah diharamkan suami melalui zhiharnya. Karena, jika ia sudah berkeinginan menyetubuhi isterinya yang telah dizhiharnya, maka berarti ia telah kembali dan keinginan meninggalkan hubungan badan dengannya kepada keinginan untuk melakukannya, baik keinginan itu direalisasikan maupun tidak. Yang dimaksudkan dengan Al-’Aud adalah hubungan badan yang dilakukan suami setelah menzhiharnya.” Demikian dikatakan Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan: “Al’Aud adalah keinginan berhubungan badan saja, meskipun tidak melakukannya.”
Perbedaan pendapat juga terjadi di sekitar masalah hubungan dilakukan oleh suami yang menzhihar isterinya sebelum membayar kaffarat. Mengenai hal ini ada yang mengatakan diwajibkan atasnya, ada juga yang mengatakan tiga kafarat. Bahkan ada yang mengatakan kewajiban membayar kafarat. Namun demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan adalah membayar satu kafarat. Dan itulah sebagaimana yang diterangkan dalarn dalil-dalil yang telah disebut.
d. Perbedaan Pendapat Mengenai Kekhususan Zhihar
Jumhurul ulama berpendapat, bahwa zhihar itu hanya khusus dengan perkataan “ibu”, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, jika seorang suami mengatakan kepada isterinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku, maka berarti ia telah menzhihar. Akan Tetapi, jika ia mengatakan kepadanya,"Bagiku kamu seperti punggung saudara perempuanku”, maka hal itu bukan sebagai zhihar. Sebagian dan ulama tersebut, yang di antaranya penganut madzhab Hanafi, Auza’i, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, dan Zaid bin Ali berpendapat, bahwa kata “ibu” dalam zhihar itu diqiyaskan kepada seluruh mahram. Ketiga Imam dan sebuah riwayat dan Imam Abmad mengatakan apabila seorang suami mengatakan kepada isterinya,"Bagiku kamu punggung ibuku maka tidak ada kewajiban baginya membayar kafarat". Dalam riwayat yang lain Imam Ahmad mengatakan: “Diwajibkan baginya membayar kafarat jika ma telah menyetubuhinya. Pendapat
terakhir inilah yang menjadi pilihan Al-Kharaqi. Sedangkan suami yang mengatakan kepada isterinya,"Cintaku kepadamu seperti cintaku kepada saudara perempuanku atau ibuku dalam kecintaan,” maka hal itu bukan termasuk zhihar.

e. Bukan Zhihar Kecuali Jika Menyebutkan Wanita yang Menjadi mahramnya
“Suami yang mengucapkan kalimat zhihar dengan menyebutkan wanita yang menjadi mahramnya, maka hal itu termasuk zhihar,” ungkap Hasan Bashri, Atha’ mengatakan: “Suami yang menzhihar dengan menyebutkan wanita yang menjadi mahramnya atau saudara perempuan sesusuan, maka kesemuanya itu seperti ibunya, dimana tidak diperbolehkan menyetubuhi isterinya sehingga ia membayar kafarat. Apabila ia menzhihar dengan menyebutkan anak perempuan bibinya, maka hal itu bukan termasuk zhihar. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan salah satu dan ungkapan Imam Syafi’i.” Pada pendapat Imam Syafi’i yang lain dikemukakan: “Bahwa setiap orang yang menzhihar isterinya dengan menyebutkan wanita yang bukan mahramnya sebagai ganti kata ibu, maka yang demikian itu bukan termasuk zhihar. Sedang apabila ia menyebutkan wanita yang menjadi mahramnya, maka yang demikian itu sudah termasuk zihar"
Sedangkan “Suami yang menzhihar isterinya dengan menyebutkan wanita yang menjadi mahramnya atau bukan mahramnya atau seorang anak perempuan, maka yang demikian itu sudah termasuk zhihar.” Demikian yang menjadi pendapat Imam Malik.
Sekelompok ulama di antaranya Sufyan Tsauri dan Asy-Syafi’i mengatakan: “Jika seorang suami menzhihar isterinya denganmenyebutkan kepala atau tangan ibunya, maka hal itu juga termasuk zhihar.” Sedangkan menurut Abu Hanifah: “Jika seorang suami menzhihar isterinya dengan menyebutkan sesuatu yang ia tidak diperbolehkan melihatnya dan ibunya, maka hal itujuga termasuk zhihar. Dan apabila ia menzhihar dengan sesuatu yang dihalalkan baginya untuk melihat dan ibunya, maka hal itu bukan termasuk zhihar.”

f. Orang yang Diwajibkan Membayar kafarat
Kewajiban membayar kaffarat itu tidak gugur dan seseorang hanya karena kematiannya atau kematian isterinya, tidak juga karena thalak darinya. Kafarat ini termasuk modal hartanya jika ia meninggal, baik mewasiatkan atau tidak. Karena, itu merupakan hutang kepada Allah SWT, yang harus lebih diutamakan daripada hutang kepada manusia.







BAB III
 PENUTUP

Dari semua pemaparan yang sudah ada, maka perlu diperhatikan lagi bahwasanya ilmu fikih selalu berkesan dinamis dikarenakan setiap masa dan zaman selalu bermunculan masalah-masalah baru dari kehidupan. Terutama pada zaman sekarang yang serba teknologi dan modern.
Maka dari itu bahasan diatas mengenai thalak, li’an, ilaa dan zihar merupakan sedikit ilmu dari pemakalah untuk berbagi, dan masih sangat jauh sekali dari kata sempurna. Akan tetapi, bagi kehidupan rumah tangga sangatlah diperlukan ilmu untuk bekal didalamnya.
Dalam berbagai polemic kedinamisan ilmu fikih para ulama’ pun berbeda pendapat. Ulama’ empat madzab pun juga ada perpendapat dan masing-masing mempunyai rasionalisasi untuk kemaslahatan umat islam. Terlebih lagi daerah atau Negara menjadi alas an tersendiri bagi para imam terkait dengan apa yang menjadi landasan berpikir untuk kebijakan yang ditentukan oleh Imam.
Selain dari pada imam empat madzab, juga masih banyak imam-imam yang lain juga mempunyai kebijakan dalam masalah thalak, li’an, ilaa dan zihar. Akan tetapi ketika muncul perbedaan pendapat yang sekiranya melibatkan banyak imam, maka hasil dari kebijakan tersebut diambil dari kesepakatan jumhur ulama, yang manakala akan menjadi acuan dasar untuk umat islam sebagai ulama warostatul ‘anbiya’.a
Semoga makalah ini bias memberi pencerahan kepada pembacanya agar tidak semberono mengatakan perkataan-perkataan yang mengakibatkan thalaq dan mengharuskan kita membayar kafarat. Semoga Pembaca, khususnya pemakalah bisa menjadikan keluarganya harmonis dan senantiasa di rahmati Allah SWT. Amien. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Djamal, Murni. MA., Ilmu Fiqh II, Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah VIII, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1983.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqh II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1981.
Ghanim, syekh adil rasyad. 1993. Bersikap islami. Jakarta : gema insani press.
Hakim, rahmat. 2000. Hukum perkawinan islami. Bandung : postaka setia.
Hamid, syamsul Rijal. 1997. Buku pintar agama islam. Jakarta : Cahaya salam.
Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan dalam syariat islam. Jakarta : Rineka cipta.
Rasyid, Sulaiman. 1996. Fiqih islam. Jakarta : Sinar baru argensindo.
Umar, Anshori, 1986, Fiqih wanita. Semarang : CV. Asy-syifa.
Djamaan, Nur . Fiqh Munakahat.
Rusy, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Pustaka Azzam. Jakarta. 2007.




[1] Drs. Murni Djamal, MA., Ilmu Fiqh II, Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, hlm. 226
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VIII, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1983, hlm. 9
[3] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm.
[4] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1981, hlm. 373
[5][5] Shahih HR. Muslim 1472.                         
[6] Ibnu Rusyd: Bidayatul Mujtahid juz 2 hal. 126.
[7] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494.
[8] Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410.
[9] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 456 no: 5311, Muslim II: 1130 no: 1493, ‘Aunul Ma’bud VI: 347 no: 2240 dan 2241, Nasa’i VI: 177.
[10] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 460 no: 5315, Muslim II: 1132 no: 1494, ‘Aunul Ma’bud VI:     348 no: 2242, Tirmidzi II: 338 no: 1218, Nasa’i VI: 178 dan Ibnu Majah I: 669 no: 2069.
[11] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no: 2235.
[12] Djamaan Nur.Fiqh Munakahat : hal 154.
[13] http://www.pesantrenvirtual.com/index
[14] Djamaan Nur.Fiqh Munakahat : hal 154
[15] Ibid 155
[16] Ibid 155
[17] Ibid 156

2 komentar:

Trimakasih atas saran, kritik, dan komentnya...
semoga bisa menambah pengetahuan kita semua...amin

FeedBack!!!! trims