Halaman

Label

Selasa, 06 Juni 2017

CCTV Dalam Tinjauan Ushul Fiqh (Qiyas)



A.      Latar Belakang Masalah

Tindak pidana islam adalah bagian dari hukum islam atau bisa disebut fiqh, fiqh merupakan salah satu kajian ilmu Syariah, di mana kita ketahui bahwasanya ajaran islam meliputi tiga pokok, yakni iman, islam, dan ihsan; atau akidah, syariah, dan akhlak. Ilmu tentang iman atau akidah disebut dengan ilmu tauhid, ilmu tentang islam atau syariah disebut dengan ilmu fiqh, sedangkan ilmu tentang ihsan atau akhlak disebut dengan ilmu tauhid.[1]

Tindak pidana islam ini biasa dikenal dengan fiqh jinayah yaitu ilmu tentang hukum-hukum Syariah yang digali dan disimpulkan dari al-Qur’an dan hadis tentang kriminalitas yang berkaitan dengan keamanan jiwa (nyawa) dan anggota tubuh baik yang menyangkut lima aspek (agama, nyawa, akal, kehormatan (nasab), dan harta) maupun tidak. Dalam hal ini para ulama’ juga menyamakan lafaz jinayah dengan jarimah.[2]

Adapun di Indonesia ada hukum perdata dan juga hukum pidana, hukum perdata mencakup berbagai hal berkaitan masalah perseorangan seperti perkawinan, wakaf, waris, dan lain-lain. Hukum pidana berbicara tentang segala hal bentuk kriminal baik berupa pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain. Penyelesaian kasus-kasus pidana di Indonesia masih berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang notabene adalah warisan dari Belanda. Indonesia belum mempunyai acuan buatan asli Indonesia terlebih sebuah rumusan perundang-undangan yang didasarkan kepada nash dalam islam seperti halnya kompilasi hukum islam (KHI) pada hukum perdata.

Kemudian berkaitan hukum sendiri dibagi menjadi dua yaitu hukum formil dan hukum material. Dalam islam ketika kita kaitkan dengan persoalan di atas maka bisa diketahui bahwasanya hukum material adalah setiap peraturan-peraturan baik itu berupa perintah maupun larangan yang dalam hal ini berkaitan dengan pidana (Fiqh Jinayah). Hukum formil adalah hukum berkaitan tata cara pelaksanaan hukum material atau bisa disebut dengan hukum acara (Fiqh Murafa’at).

Persoalan hukum acara di atas baru-baru ini menjadi sangat ramai dibicarakan dengan masuknya teknologi yang semakin canggih saat ini, salah satunya mengenai close circuit television (CCTV). Apakah kemudian CCTV ini bisa menjadi alat bukti dalam sebuah persidangan. Contoh teranyar adalah kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wangsa dengan racun sianida, perdebatan yang terjadi adalah karena tidak ada saksi satu pun yang melihat kejadian ini (Jessica memasukkan racun ke dalam kopi yang diminum Mirna yang diduga kuat sebagai alasan kematiannya).

Sebagaimana diketahui dalam pasal 184 KUHAP bahwa alat bukti yang sah ada lima yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Itu yang menjadi dasar hukum Kuasa Jessica menolak adanya alat bukti CCTV.

Melalui perdebatan inilah kemudian kami mencoba menggali bagaimana kedudukan CCTV dalam pandangan islam. Apakah kemudian CCTV tersebut bisa menjadi alat bukti sebagaimana dalam islam mengharuskan adanya saksi. Di sini kami akan mencoba melakukan analisis guna mencari jawaban-jawaban tersebut. Selanjutnya menggali beberapa hal diatas dengan kaca mata Ushul Fiqh. Dalam hal ini kami menggunakan qiyas sebagai alat analisis. Qiyas sendiri merupakan salah satu sumber hukum dalam islam.

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana qiyas dalam hukum islam?

2.      Bagaimana istinbath hukum mengenai kedudukan close circuit television (CCTV) perspektif ushul fiqh?

3.      Bagaimana kedudukan CCTV sebagai alat bukti ditinjau dari perundang–undangan di Indonesia?




C.      Qiyas dalam Hukum Islam

Pembahasan qiyas di sini adalah sebagai sebuah alat analisis atau sebuah teori yang digunakan guna menerangkan, menjelaskan serta mengungkapkan suatu yang menjadi pembahasan penulis, dalam hal ini adalah untuk mencari jawaban rumusan masalah yang telah dikemukakan penulis di atas. Yaitu mengenai kedudukan CCTV dalam kaitannya dengan alat bukti dalam islam.

Definisi Qiyas

Secara bahasa, qiyas adalah at-taqdir (mengukur) dan at-taswiyah (menyamakan).[3] Qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya ataupun penyamaan sesuatu dengan hal yang sejenis.

Menurut ulama usul, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadis dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkann hukumnya berdasarkan Nash.[4] Menurut definisi lain qiyas adalah mengarahkan suatu perkara yang diketahui (ma’lum) atas sesuatu lainnya karena adanya kesamaan ‘illat hukumnya, menurut orang yang mengarahkannya.[5]

Qiyas berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatuyang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat. Dengan demikian qiyas itu menggabungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan bentuk maupun sifatnya.

Kehujjahan Qiyas

Ulama’ berbeda pendapat mengenai bolehnya qiyas dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan sebuah hukum. Sehubungan dengan hal itu Muhammad Abu Zahrah membaginya dalam tiga kelompok, sebagai berikut:

1.      Kelompok jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat maupun ijma’ ulama. Hal itu tidak dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas. Imam Abu Hanifah memperbolehkan qiyas akan tetapi membatasinya pada perkara-perkara hudud, kaffarat,rukhsah dan taqdirat (kadar-kadar ukuran) hal ini terdapat dalam kitab jam’u al-jawami’.

2.      Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, yang tidakcmemperbolehkan qiyas sama sekali. Mazhab Zhahiriyah tidak mengakui adanya ‘Illat Nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan Nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat. Dalam kitab jam’u jawmi’ dikatakan bahwa qiyas menggunakan akal tidak boleh dijadikan hujjah dengan alasan mencegah dari kekeliruan, pendapat ini menurut Imamiyah dan an-Naddham (tokoh Mu’tazilah). Menurut ibnu Hazm qiyas bukanlah qiyas menurut syara’, menurutnya nash sudah mencakup seluruh kejadian dengan nama-nama atau istilah-istilah secara bahasa, tanpa butuh istinbath dan qiyas.

3.      Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka menggabungkan dua hal yang terlihat tidak memiliki kesamaan ‘illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsis dari keumuman al-Qur’an dan hadis.[6]

Adapun ulama’-ulama’ yang memperbolehkan qiyas dijadikan sebagai hujjah dengan berlandaskan beberapa nash, diantaranya:

·         Surat an-Nisa’ ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”.

Ayat ini dijadikan sebagaidalil qiyas sebab maksud dari kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya) tiada lain adalah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan; apa yang sebenarnya dikehendaki Allahdan Rasul-Nya. Hal ini bisa diperoleh dengan mencari ‘illat hukum, yangdinamakan qiyas.[7]

·         Dalam penetapan hukum dalam al-Qur’an juga disebutkan adanya ‘illat dan tujuanya secara tegas. Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 179 disebutkanDan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Itulah diantaranya dalil-dalil yang dijadikan sebagai landasan dalam menggunakan qiyas.

Rukun Qiyas

Melihat beberapa definisi di atasa maka bisa ditarik kesimpulan bahwa rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikutL:

1.      Al-Ashl yaitu asal suatu perkara yang ada dalam nash yang kemudian dijadikan tempat untuk meng-qiyaskan.

2.      Al-Far’u yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, yang dalam hal ini kemudian perkara tersebut dicarikan analogi dalam al-ashl.

3.      Hukmul Ashli yaitu hukum yang terkandung dalam al-ashl.

4.      ‘Illat yaitu alasan hukum serupa yang terdapat dalam al-ashl dan al-far’u.atau ma’na musytarak (makna yang dipersekutukan) dari al-ashl.[8]

Macam-Macam Qiyas.

Dilihat dari segi tingkatannya qiyas terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

1.      Qiyas aulawi, yaitu tujuan penetapan yang menjadi illat hukum yang ada dalam far’u itu lebih kuat dari pada illat hukum asal. Misalnya, dalam sabada Rasulullah: “sesungguhnya Allah mengharamkan darah orang mu’min dan berprasangka kepadanya kecuali dengan prasangka baik.” Jika dilihat, hadits ini ketika di qiyaskan dengan prasangka buruk, tentunya hal ini lebih dilarang, dikarenakan illat yang ditimbulkan lebih kuat.

2.      Qiyas setara, yaitu sifat hukum yag dianggap sebagai illat dalam hukum furu’ sama kuatnya dengan illat dalam hukum asal. Seperti mengqiyaskan budak laki-laki terhadap budak perempuan dalam masalah separuh hukuman dari hukuman orang yang merdeka. Berdasakan firman Allah surat Annisa ayat 25.

3.      Qiyas naqis, yaitu dimana wujud illat dalam hukum far’u kurang tegas dibandingkan dengan hukum asal seperti illat memabukkannya minuman-minuman yang dibuat dari anggur. Sebagiamana diketahui bahwasannya alasan memabukkannya minuman tersebut tidak sekuat pada ‘illat-nya khamr.

Qiyas dan Nash Hukum

1.      Apabila ada nash, maka dilarang secara mutlak memberlakukan qiyas, baik nash itu zhanni sanadnya maupun zhanni dalalahnya. Sebab, qiyas tidak berlaku pada kasus yang sudah jelas nashnya.

2.      Qiyas kadangkala bertentangan dengan dalil-dalil zhanni dan bukan dalil-dalil ­qath’I. jadi qiyas bisa bertolak belakang dengan dalil zhanni, tetapi tidak mungkin bertentangan dengan dalil qath’i. jika bertentangan dengan dalil qath’i maka dinamakan qiyash fasid dan tidak sah.

Mengenai hal ini beberapa ulama berpendapat, diantaranya adalah imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwasannya ia lebih cenderung menggunakan nash zhanni, seperti lebih memilih menggunakan hadits ahad dibandingkan dengan qiyas. Kemudian menurut Imam Syafi’i lebih cenderung mengikuti pada poin pertama diatas, yaitu ketika sudah ada dalil qath’i dan zhanni yang menjelaskan tentang suatu perkara, maka tidak diperbolehkan adanya qiyas, dan pendapat inipun didukung degan Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim yang menegaskan kontradiksi antara qiyas dan nash merupakan tanda batalnya qiyas.[9]

D.      Istinbath Hukum

Untuk mengetahui bagaimana kedudukan CCTV dalam kaitanya dengan alat bukti maka penulis akan melakukan istinbath hukum. Dalam hal ini penulis menggunakan metode qiyas sebagaimana telah dijelaskan di atas. Berkaitan dengan persoalan ini penulis akan menguraikan satu-persatu rukun qiyas beserta korelasi dan penjelasan berkaitan tema yang ditulis. Adapun beberapa hal yang perlu penulis uraikan adalah sebagai berikut:

1.      Al-Ashl

...... وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡ‍َٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ

“...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalam islam, alat bukti yang sah menurut fuqaha diantaranya adalah sebagai berikut:

a.       Iqrar (pengakuan)

b.      Bayyinah (bukti/saksi)

c.       Yamin (sumpah)

d.      Nukul (menolak sumpah)

e.       Qasamah (sumpah)

f.       Ilmu pengetahuan hakim

g.      Maktubah (bukti tertulis)

h.      Petunjuk-petunjuk

i.        Sangkaan-sangkaan atau petunjuk-petunjuk, dan lain-lain.[10]

Penulis tidak akan menjelaskan satu-persatu alat bukti sebagaimana disebutkan di atas, penulis akan fokus kepada alat bukti “saksi”.

Menurut jumhur ulama bayyinah merupakan kata sinonim dari syahadah dari fi’il madhi syahada-yasyhadu yang berarti menghadiri, menyaksikan (dengan mata kepala sendiri), dan mengetahui.[11]

Adapun menurut istilah, Al-Jauhari berpendapat bahwa kesaksian berarti berita pasti, artinya sesuatu yang nyata, karena saksi adalah orang yang melihat atau menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak mengetahuinya. Kesaksian juga berarti seseorang yang memberitahukan secara benar atas apa yang dilihat dan didengarnya.[12] Menurut Wahbah Zuhaili yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslih, persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaraan dengan lafadz syahadat di depan pengadilan.[13]

Dari beberapa definisi yang sudah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwasanya saksi adalah orang yang memberikan pernyataan (dengan disumpah) yang benar atas apa yang dilihat/disaksikan secara langsung (dengan mata kepala sendiri), dan didengarkan tentang suatu kejadian tertentu di depan sidang pengadilan.

2.      Al-Far’u

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut suatu perkembangan di semua sektor. Termasuk dalam hukum islam. Perkembangan yang ada saat ini memaksa para ahli hukum islam untuk melakukan suatu ijtihad. Karena ada beberapa hal yang baru, yang pada zaman ulama’ terdahulu belum ada rumusannya. Ataupun beberapa rumusan permasalahan lain yang perlu dicarikan hujjah yang yang paling rajih dan sesuai dengan kemaslahatan saat ini. Dengan kebutuhan seperti itu, maka penulis mencoba mencari jawaban dari rumusan-rumusan yang telah dikemukakan di muka, mengenai kedudukan CCTV dalam alat bukti menurut pandangan islam.

CCTV adalah Closed Circuit Television yang artinya sebuah kamera pengintai yang dapat merekam gambar dan suara, ke dalam sebuah monitor yang rekamannya bisa tersimpan dengan bantuan perangkat lain yang disebut DVR yang di dalamnya terdapat sebuah hardisk yang kemudian dikelola sehingga menjadi file rekaman untuk memutar ulang apa yang terekam oleh CCTV tersebut.[14] Perkembangan CCTV sekarang ini adalah adanya CCTV online yang kemudian bisa diakses oleh pemiliknya baik melalui komputer maupun smartphone. Juga bisa menjadi sebuah alarm keamanan ketika ada sebuah gerakan yang terjadi di lokasi CCTV tersebut.

Perangkat ini digunakan untuk mengawasi dan merekam segala bentuk aktifitas dalam suatu lokasi tertentu. Pada umumnya CCTV digunakan sebagai pelengkap keamanan dan banyak dipakai di dalam industri-industri dan tempat-tempat umum seperti bandara, toko, kantor, minimarket bahkan cafe.

3.      Hukmul Ashli

Sebagaimana dalam persaksian seseorang, maka saksi dikategorikan sebagai alat bukti dalam sebuah peradilan. Dalam hal persaksian dalam islam, bahwasanya saksi merupakan orang yang meliat secara langsung suatu kejadian atau mendengarkan suatu peristiwa seperti kesaksian atas kematian.[15]

Dalam persaksian ini ada beberapa kejadian yang memperbolehkan adanya kesaksian seseorang, yaitu berkaitan dengan kasus kesaksian kematian, zina, perkara yang diancam hukum had, qishas, serta perkara-perkara gugatan harta benda, perkawwinan, perwakilan, wasiat, idah, wakaf, perdamaian, hibah, pengakuan dan pembebasan. Khusus dalam perkara zina maka dibutuhkan empat orang saksi, adapun perkara-perkara lain seperti yang telah disebutkan tadi membutuhkan dua orang saksi.[16]

Berkaitan dengan saksi ini para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan saksi dengan dua orang laki-laki ataupun seorang saja. Diantaranya adalah pendapat Ibnul Qoyyim, ia berpendapat bahwa boleh kesaksian seorang laki-laki apabila ia dikenal keadilannya selain perkara yang diancam hukuman had.[17] Perkara-perkara yang diancam hukuman had diantaranya adalah jarimah perzinaan, penuduhan zina dan pemcemaran nama baik, meminum khamr dan penyalahgunaan narkoba, pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan.[18]

Pendapat kedua, memperbolehkan seorang saksi dan sumpah dalam kesaksian tentang sengketa harta benda dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ini menurut pendapat Madzhab Syafi’i, Hanbali, dan al-Laits.[19]

Kemudian berkaitan dengan persaksian yang dilakukan oleh wanita, ulama salaf dan khalaf memperbolehkan hal itu untk perkara selain yang diancam hukuman had dan qishas. Adapun menurut pendapat yang kuat bahwasanya seorang wanita hanya boleh menjadi saksi dalam perkara yang lazimnya hanya boleh diketahui oleh wanita seperti menyusui dan melahirkan.[20]

Menurut Imam Abu Hanifah, as-Syafi’i, dan Ahmad bahwa kesaksian yang dilakukan oleh anak tidakdapat diterima, dan dalam kasus sengketa antara anak yang saling melukai satu sama lain dalam hal ini kesaksiannya bisa diterima asalkan anak tersebut belum meninggalkan tempat kejadian. Fuqaha juga berpendapat bahwa seorang muslim boleh memberikan kesaksiannya kepada non muslim.[21]

Adapun mengenai kesaksian nonmuslim untuk orang muslim tidak diperkenankan kecuali dalam keadaan darurat. Dalam hal ini Ibnu Abbas memperbolehkan kesaksian tersebut (nonmuslim)  yaitu golongan dari ahli kitab. Ssedangkan Ibnu al-Qoyyim berpendapat bolehnya kesaksian yang dilakukan oleh nonmuslim baik dalam keadaan darurat ataupun tidak asalkan disertai dengan sumpah, karena menurutnya saksi ataupun bukti haruslah bisa menjelaskan dan menyampaikan suatu kebenaran, sedang non muslim kadang-kadang dapat menjamin kepercayaannya, dalam hal ini maka kesaksiannya bisa diterima.[22]

Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kesaksian yang dilakukan baik oleh dua orang laki-laki, seorang laki-laki, perempuan ataupun non muslim bisa digunakan sebagai alat bukti dalam suatu perkara tertentu.

4.      ‘Illat

Dalam beberapa uraian dan penjelasan di atas mengenai saksi maka bisa diperoleh keterangan bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti yang bisa digunakan dalam memperolah kebenaran adanya suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi. Karena saksi meihat secara langsung suatu kejadian dengan mata kepala sendiri. Dan mengenai aturan yang mengharuskan adanya saksi lain adalah karena untuk menyesuakin apa yang dilihatnya antara satu saksi dengan saksi lainnya terhadap suatu kejadian yang terjadi.

Oleh karenanya menurut hemat penulis, bahwa keterangan ataupun terangnya suatu kejadian baik dengan penglihatan secara langsung ataupun suatu pendengaran itu merupakan alasan (‘illat) dari seorang saksi. Sebagaimana fungsi sebuah CCTV yaitu bisa melihat suatu kejadian tertentu dalam satu lokasi.

Tentunya dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Seperti halnya seorang saksi dipersyaratkan dengan adil, maka CCTV harus dipastikan terlebih dahulu keaslian hasil rekamanya. Karena syarat adil dalam islam adalah sebagai jaminan bahwa orang yang memberikan kesaksian tersebut bisa diterima kebenarannya dan hanya kemungkinan kecil bahwa ia berbohong dalam memberikan kesaksiannya.

E.       CCTV Sebagai Alat Bukti Hukum Di Indonesia

Peran CCTV (Closed Circuit Television) seringkali terlibat dalam perkara-perkara hukum yang terjadi di Indonesia, dimana jaksa penuntut umum menggunakan CCTV sebagai barang/alat bukti dalam upaya pengungkapan kebenaran di Pengadilan. Di sisi lain CCTV belum mendapatkan legalitas sebagai barang/alat bukti yang sah dalam perundang-undangan di Indonesia, dalam KUHAPid alat bukti yang sah hanya ada 5 yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) alat bukti yang sah berjumlah 5 macam yaitu: surat-surat, kesaksian, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Pembuktian dalam Kamus Besah Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang pembuktian itu sendiri adalah prosesnya dengan kata lain usaha untuk menunjukkan benar atau salahnya terdakwa dalam persidangan. Pembuktian memeliki arti yang beragagam dimata ahli hukum, beberapa ahli hukum yang memberikan arti pembuktian diantaranya adalah:

a.    Menurut R. Subekti, bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim dengan kebenaran dalil-dalil dalam suatu persengketaan. [23]

b.    Menurut TM, Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa pembuktian adalah segala sesuatu yang dapat menampakkan kebenaran baik saksi ataupun yang lain.[24]

c.    Menurut A, Mukti Arti, bahwa pembuktian adalah pertimbangan logis suatu fakta  sah denganalat bukti yang sah menurut hukum yang berlaku.[25]

Surat-surat yang dikehendaki adalah berupa akte dan surat-surat lain, akte haruslah memiliki tanda tangan sehingga akte terbagi kedalam dua jenis yaitu akte resmi dan akte dibawah tangan. Akte resmi adalah akte yang dibuat di muka pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang. Akte dibawah tangan adalah akte yang dibuat dengan tidak menggunakan perantara pejabat. Sedangkan surat-surat lain adalah catatan atau tulisan yang bukan akte, disini kekuatan pembuktian terletak pada hakim. Suatu kesaksian diharuskan mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata kepala sendiri atau yang dialami sendiri, namun pada penerapannya seorang saksi yang dibutuhkan harus lebih dari satu, sehingga akan ada korelasi antara kedua alat bukti yang dianggap sah. Sedangkan persangkaan merupakan kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah jelas (terang dan nyata), kemudian alat bukti yang terakhir dalah sumpah, dalam hal ini sumpah dibagi menjadi dua, yaitu: sumpah yang menentukan dan sumpah tambahan. Sumpah yang menentukan yaitu sumpah yang diminta satu pihak kepada pihak lain, sedangkan sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan kepada salah satu pihak yang terlibat.[26]

Dalam Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008 mengemukakan keabsahan alat bukti elektronik yang terangkum dalam bab III yaitu: Pasal 5 ayat 1: “Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupaan alat bukti yang sah”. Dan pasal 5 ayat 2: “Informasi elektronik dan/atau hasul cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”.

Berkaitan dengan UU ITE ini, penulis mengkhususkan pada peran CCTV dalam upaya membantu memberikan keterangan yang dibutuhkan dalam persidangan khususnya dalam masalah pidana. Dimana akhir-akhir ini peran CCTV begitu penting dalam penanganan kasus, misalnya mengenai kematian mirna dalam kasus “Kopi Sianida”, kemudian dalam kasus penistaan Agama Oleh Basuki Tjahja Purnama “Al-Maidah 51”, kemudian penangkapan aktor kerusuhan “Demo Damai 4 November 2016” yang melibatkan anggota HMI, dan masih banyak kasus lain yang melibatkan CCTV atau sejenisnya sebagai alat bukti. Jika diamati lebih lanjut CCTV saat ini telah menjamur di berbagai wilayah pelosok Indonesia, seperti adanya CCTV yang digunakan oleh Kantor Desa, Masjid, Pertokoan, bahkan digunakan pula oleh beberapa rumah hunian guna meningkatkan keamanan.

Status keabsahan CCTV sebagai alat bukti yang sah dijelaskan pada keputusan MK mengenai informasi elektronik dan termasuk pula di dalamnya CCTV menyatakan:[27]

Mengabulkan permohonan untuk sebagian;

a.    Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b UU No.11 Tahun 2008 tentang  infromasi dan transaksi elektronik (lembaga negara republik indonesia tahun 2008 nomor 58, tambahan lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum laiinya yang ditetaplan berdsarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UUNo. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik;

b.    Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (lembaga negara republik indonesia tahun 2008 nomor 58, tambahan lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum laiinya yang ditetapkan berdsarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UUNo. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam pasal di atas yang menjadi fokus penulisan ini adalah elektronik dan / dukumen elektronik. Dimana pengertian elektronik adalah alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika serta hal atau benda yang menggunakan alat tersebut.[28] Dalam informasi atau dokumen elektronik, mencakup pula CCTV, dan rekaman yang dihasilkan oleh CCTV. Sehingga CCTV dapat menjadi alat bukti yang sah bilamana:

1.      Rekaman kamera CCTV dapat dikategorikan alat bukti yang sah selama belum ada revisi terhadap UU ITE.

2.      Pengambilan salinan rekaman CCTV dilakukan secara langsung oleh pihak yang berwenang dan sesuai dengan prosedur.

3.      Rekaman CCTV dapat dibuktikan keasliannya oleh ahli.

4.      Rekaman CCTV dianggap sah oleh hakim.

Kedudukan CCTV bukanlah sebagai alat bukti pengganti bila tidak ditemukan alat bukti yang lain, melinkan rekaman CCTV hanya sebatas pelengkap dan penguat bukti yang diberkan kepada pengadilan dalam proses mencari keadilan dilingkungan peradilan.


Makalah ini disampaikan pada presentasi Mata kuliah Ushul Fiqh yang diampu oleh Dr. Miftahur Rohim, Pascasarjana Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng




DAFTAR PUSTAKA



Anonim, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama, 2010.

Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004.

Arto, Mukti. Praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Cet II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Ash-Shiddiqy, Hasbi. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

As-Subki, Imam At-Taj. Jam’u al-Jawami’ terjemahan Juz 2. Kediri: Lirboyo Press, 2014.

Djalil, A. Basiq, Peradilan Islam. Jakarata: Amzah, 2012.

Ihsanuddin. Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren. Yogyakarta: YKF dan Ford Foundation, 2002.

Irfan, M. Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2016.

Mahkamah Konstitusi RI. Amar Putusan. No 20/PUU-XIV/2016.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Muslih, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, tt.

Soetami, Siti. Pengantar Tata Hukum Indonesiai, Cet V. Bandung: Rafika Aditama, 2007.

Subekti. Hukum Pembuktian, Cet VIIi. Jakarta: Pradya paramita, 1987.

Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.

Website


www.wikipedia.org


[1]M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 1.
[2]Ibid, 12.
[3]Imam At-Taj As-Subki, Jam’u al-Jawami’ terjemahan Juz 2, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), 187.
[4]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), 356.
[5]As-Subki, Jam’u, 187.
[6]Zahrah, Ushul, 360.
[7]Ibid, 360-361.
[8]Zahrah, Ushul,  371. Lihat juga As-Subki, Jam’u, 197. Dan Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,1999), 87-88.
[9] Ibid, 410-411.
[10]Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), 25-26.  Lihat juga, A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 35-36.
[11]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 746-747.
[12]Ihsanuddin, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, (Yogyakarta: YKF dan Ford Foundation, 2002), 93.
[13]Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, tt), 231.
[14]www.sanjayanet.com, diakses pada tanggal 15 November 2016.
[15]A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 45.
[16]Ibid, 45.
[17]Ibid, 46.
[18]Irfan, Hukum Pidana Islam, 47-92.
[19]Djalil, Peradilan, 46-47.
[20]Ibid, 47.
[21]Ibid, 48.
[22]Ibid, 49.
[23]Subekti, Hukum Pembuktian,Cet VIIi, (Jakarta: Pradya paramita, 1987), 7.
[24]Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 139.
[25]Mukti Arto, Praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Cet II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),135.
[26]Siti soetami, pengantar tata Hukum Indonesia,i Cet V, (Bandung: Rafika Aditama, 2007) 38-39.
[27]Mahkamah Konstitusi RI, Amar Putusan, No 20/PUU-XIV/2016,  97-98.
[28]Wikipedia.org