A.
Latar Belakang Masalah
Tindak pidana islam adalah bagian
dari hukum islam atau bisa disebut fiqh, fiqh merupakan salah satu kajian ilmu
Syariah, di mana kita ketahui bahwasanya ajaran islam meliputi tiga pokok,
yakni iman, islam, dan ihsan; atau akidah, syariah, dan akhlak. Ilmu tentang
iman atau akidah disebut dengan ilmu tauhid, ilmu tentang islam atau syariah disebut
dengan ilmu fiqh, sedangkan ilmu tentang ihsan atau akhlak disebut dengan ilmu
tauhid.[1]
Tindak pidana islam ini biasa
dikenal dengan fiqh jinayah yaitu ilmu tentang hukum-hukum Syariah yang digali
dan disimpulkan dari al-Qur’an dan hadis tentang kriminalitas yang berkaitan
dengan keamanan jiwa (nyawa) dan anggota tubuh baik yang menyangkut lima aspek
(agama, nyawa, akal, kehormatan (nasab), dan harta) maupun tidak. Dalam hal ini
para ulama’ juga menyamakan lafaz jinayah dengan jarimah.[2]
Adapun di Indonesia ada hukum
perdata dan juga hukum pidana, hukum perdata mencakup berbagai hal berkaitan
masalah perseorangan seperti perkawinan, wakaf, waris, dan lain-lain. Hukum
pidana berbicara tentang segala hal bentuk kriminal baik berupa pembunuhan,
pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain. Penyelesaian kasus-kasus
pidana di Indonesia masih berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang notabene adalah warisan dari Belanda. Indonesia belum mempunyai acuan
buatan asli Indonesia terlebih sebuah rumusan perundang-undangan yang didasarkan
kepada nash dalam islam seperti halnya kompilasi hukum islam (KHI) pada hukum
perdata.
Kemudian berkaitan hukum sendiri
dibagi menjadi dua yaitu hukum formil dan hukum material. Dalam islam ketika
kita kaitkan dengan persoalan di atas maka bisa diketahui bahwasanya hukum
material adalah setiap peraturan-peraturan baik itu berupa perintah maupun
larangan yang dalam hal ini berkaitan dengan pidana (Fiqh Jinayah). Hukum
formil adalah hukum berkaitan tata cara pelaksanaan hukum material atau bisa
disebut dengan hukum acara (Fiqh Murafa’at).
Persoalan hukum acara di atas
baru-baru ini menjadi sangat ramai dibicarakan dengan masuknya teknologi yang
semakin canggih saat ini, salah satunya mengenai close circuit television
(CCTV). Apakah kemudian CCTV ini bisa menjadi alat bukti dalam sebuah
persidangan. Contoh teranyar adalah kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh
Jessica Kumala Wangsa dengan racun sianida, perdebatan yang terjadi adalah
karena tidak ada saksi satu pun yang melihat kejadian ini (Jessica memasukkan
racun ke dalam kopi yang diminum Mirna yang diduga kuat sebagai alasan
kematiannya).
Sebagaimana diketahui dalam pasal
184 KUHAP bahwa alat bukti yang sah ada lima yaitu keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Itu yang menjadi dasar hukum
Kuasa Jessica menolak adanya alat bukti CCTV.
Melalui perdebatan inilah kemudian kami
mencoba menggali bagaimana kedudukan CCTV dalam pandangan islam. Apakah
kemudian CCTV tersebut bisa menjadi alat bukti sebagaimana dalam islam
mengharuskan adanya saksi. Di sini kami akan mencoba melakukan analisis guna
mencari jawaban-jawaban tersebut. Selanjutnya menggali beberapa hal diatas dengan
kaca mata Ushul Fiqh. Dalam hal ini kami menggunakan qiyas sebagai alat
analisis. Qiyas sendiri merupakan salah satu sumber hukum dalam islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
qiyas dalam hukum islam?
2.
Bagaimana
istinbath
hukum mengenai kedudukan close
circuit television (CCTV) perspektif
ushul fiqh?
3.
Bagaimana kedudukan CCTV sebagai alat bukti
ditinjau dari perundang–undangan di Indonesia?
C.
Qiyas dalam Hukum Islam
Pembahasan qiyas di sini adalah
sebagai sebuah alat analisis atau sebuah teori yang digunakan guna menerangkan,
menjelaskan serta mengungkapkan suatu yang menjadi pembahasan penulis, dalam
hal ini adalah untuk mencari jawaban rumusan masalah yang telah dikemukakan
penulis di atas. Yaitu mengenai kedudukan CCTV dalam kaitannya dengan alat bukti dalam
islam.
Definisi Qiyas
Secara bahasa, qiyas adalah at-taqdir
(mengukur) dan at-taswiyah (menyamakan).[3]
Qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya ataupun penyamaan sesuatu
dengan hal yang sejenis.
Menurut ulama usul, qiyas adalah
menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadis dengan
cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkann hukumnya berdasarkan
Nash.[4]
Menurut definisi lain qiyas adalah mengarahkan suatu perkara yang diketahui (ma’lum)
atas sesuatu lainnya karena adanya kesamaan ‘illat hukumnya, menurut
orang yang mengarahkannya.[5]
Qiyas berarti menyamakan sesuatu
yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatuyang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan ‘illat. Dengan demikian qiyas itu menggabungkan dua masalah
secara analogis berdasarkan persamaan bentuk maupun sifatnya.
Kehujjahan Qiyas
Ulama’ berbeda pendapat mengenai
bolehnya qiyas dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan sebuah hukum.
Sehubungan dengan hal itu Muhammad Abu Zahrah membaginya dalam tiga kelompok,
sebagai berikut:
1.
Kelompok
jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat maupun ijma’ ulama.
Hal itu tidak dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas. Imam Abu Hanifah memperbolehkan qiyas akan
tetapi membatasinya pada perkara-perkara hudud, kaffarat,rukhsah dan taqdirat
(kadar-kadar ukuran) hal ini terdapat dalam kitab jam’u al-jawami’.
2.
Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, yang tidakcmemperbolehkan qiyas sama sekali.
Mazhab Zhahiriyah tidak mengakui adanya ‘Illat Nash dan tidak berusaha
mengetahui sasaran dan tujuan Nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan
suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat. Dalam kitab jam’u
jawmi’ dikatakan bahwa qiyas menggunakan akal tidak boleh dijadikan hujjah
dengan alasan mencegah dari kekeliruan, pendapat ini menurut Imamiyah dan
an-Naddham (tokoh Mu’tazilah). Menurut ibnu Hazm qiyas bukanlah qiyas menurut
syara’, menurutnya nash sudah mencakup seluruh kejadian dengan nama-nama atau
istilah-istilah secara bahasa, tanpa butuh istinbath dan qiyas.
3.
Kelompok
yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka menggabungkan dua hal yang
terlihat tidak memiliki kesamaan ‘illat. Bahkan dalam kondisi dan
masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsis dari
keumuman al-Qur’an dan hadis.[6]
Adapun
ulama’-ulama’ yang memperbolehkan qiyas dijadikan sebagai hujjah dengan
berlandaskan beberapa nash, diantaranya:
·
Surat an-Nisa’ ayat 59 yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”.
Ayat ini dijadikan sebagaidalil qiyas sebab
maksud dari kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya) tiada
lain adalah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan; apa yang sebenarnya
dikehendaki Allahdan Rasul-Nya. Hal ini bisa diperoleh dengan mencari ‘illat
hukum, yangdinamakan qiyas.[7]
·
Dalam penetapan hukum dalam al-Qur’an juga
disebutkan adanya ‘illat dan tujuanya secara tegas. Misalnya dalam surat
al-Baqarah ayat 179 disebutkan “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Itulah diantaranya dalil-dalil yang dijadikan sebagai landasan dalam
menggunakan qiyas.
Rukun Qiyas
Melihat beberapa definisi di atasa maka bisa ditarik kesimpulan bahwa
rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikutL:
1. Al-Ashl yaitu asal suatu perkara yang ada dalam nash yang kemudian dijadikan
tempat untuk meng-qiyaskan.
2. Al-Far’u yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, yang dalam hal ini kemudian
perkara tersebut dicarikan analogi dalam al-ashl.
3. Hukmul Ashli yaitu hukum yang terkandung dalam al-ashl.
4. ‘Illat yaitu alasan hukum serupa yang terdapat dalam al-ashl dan al-far’u.atau
ma’na musytarak (makna yang dipersekutukan) dari al-ashl.[8]
Macam-Macam Qiyas.
Dilihat dari segi tingkatannya qiyas
terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Qiyas aulawi, yaitu tujuan penetapan yang menjadi illat hukum
yang ada dalam far’u itu lebih kuat
dari pada illat hukum asal. Misalnya, dalam sabada Rasulullah:
“sesungguhnya Allah mengharamkan darah orang mu’min dan berprasangka kepadanya
kecuali dengan prasangka baik.” Jika dilihat, hadits ini ketika di qiyaskan
dengan prasangka buruk, tentunya hal ini lebih dilarang, dikarenakan illat yang
ditimbulkan lebih kuat.
2. Qiyas setara, yaitu sifat hukum yag dianggap sebagai illat dalam
hukum furu’ sama kuatnya dengan illat dalam hukum asal. Seperti mengqiyaskan
budak laki-laki terhadap budak perempuan dalam masalah separuh hukuman dari
hukuman orang yang merdeka. Berdasakan firman Allah surat Annisa ayat 25.
3. Qiyas naqis, yaitu dimana wujud illat dalam hukum far’u kurang tegas dibandingkan dengan hukum asal seperti illat
memabukkannya minuman-minuman yang dibuat dari anggur. Sebagiamana diketahui
bahwasannya alasan memabukkannya minuman tersebut tidak sekuat pada ‘illat-nya khamr.
Qiyas dan Nash Hukum
1. Apabila ada nash, maka dilarang secara mutlak memberlakukan qiyas, baik
nash itu zhanni sanadnya maupun zhanni dalalahnya. Sebab, qiyas
tidak berlaku pada kasus yang sudah jelas nashnya.
2. Qiyas kadangkala bertentangan dengan dalil-dalil zhanni dan bukan
dalil-dalil qath’I. jadi qiyas bisa bertolak belakang dengan dalil zhanni,
tetapi tidak mungkin bertentangan dengan dalil qath’i. jika bertentangan
dengan dalil qath’i maka dinamakan qiyash fasid dan tidak sah.
Mengenai hal ini beberapa ulama berpendapat, diantaranya adalah imam Abu
Hanifah yang berpendapat bahwasannya ia lebih cenderung menggunakan nash
zhanni, seperti lebih memilih menggunakan hadits ahad dibandingkan dengan
qiyas. Kemudian menurut Imam Syafi’i lebih cenderung mengikuti pada poin
pertama diatas, yaitu ketika sudah ada dalil qath’i dan zhanni yang menjelaskan
tentang suatu perkara, maka tidak diperbolehkan adanya qiyas, dan pendapat
inipun didukung degan Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim yang menegaskan
kontradiksi antara qiyas dan nash merupakan tanda batalnya qiyas.[9]
D. Istinbath Hukum
Untuk mengetahui bagaimana kedudukan CCTV dalam
kaitanya dengan alat bukti maka penulis akan melakukan istinbath hukum. Dalam
hal ini penulis menggunakan metode qiyas sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Berkaitan dengan persoalan ini penulis akan menguraikan satu-persatu rukun
qiyas beserta korelasi dan penjelasan berkaitan tema yang ditulis. Adapun
beberapa hal yang perlu penulis uraikan adalah sebagai berikut:
1. Al-Ashl
...... وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن
لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ
ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ
وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسَۡٔمُوٓاْ أَن
تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ
ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن
تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ
جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا
يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
“...Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Sebagaimana
kita ketahui bahwasanya dalam islam, alat bukti yang sah menurut fuqaha diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Iqrar (pengakuan)
b. Bayyinah (bukti/saksi)
c. Yamin (sumpah)
d. Nukul (menolak sumpah)
e. Qasamah (sumpah)
f. Ilmu pengetahuan hakim
g. Maktubah (bukti tertulis)
h. Petunjuk-petunjuk
i.
Sangkaan-sangkaan atau petunjuk-petunjuk,
dan lain-lain.[10]
Penulis tidak akan menjelaskan satu-persatu alat bukti sebagaimana
disebutkan di atas, penulis akan fokus kepada alat bukti “saksi”.
Menurut jumhur ulama bayyinah merupakan
kata sinonim dari syahadah dari fi’il
madhi syahada-yasyhadu yang berarti menghadiri,
menyaksikan (dengan mata kepala sendiri), dan mengetahui.[11]
Adapun menurut istilah, Al-Jauhari berpendapat bahwa kesaksian berarti
berita pasti, artinya sesuatu yang nyata, karena saksi adalah orang yang
melihat atau menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak mengetahuinya. Kesaksian
juga berarti seseorang yang memberitahukan secara benar atas apa yang dilihat
dan didengarnya.[12]
Menurut Wahbah Zuhaili yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslih, persaksian adalah
suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaraan
dengan lafadz syahadat di depan
pengadilan.[13]
Dari beberapa definisi yang sudah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwasanya saksi adalah orang yang memberikan pernyataan (dengan disumpah) yang
benar atas apa yang dilihat/disaksikan secara langsung (dengan mata kepala
sendiri), dan didengarkan tentang suatu kejadian tertentu di depan sidang
pengadilan.
2. Al-Far’u
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut suatu perkembangan
di semua sektor. Termasuk dalam hukum islam. Perkembangan yang ada saat ini
memaksa para ahli hukum islam untuk melakukan suatu ijtihad. Karena ada
beberapa hal yang baru, yang pada zaman ulama’ terdahulu belum ada rumusannya.
Ataupun beberapa rumusan permasalahan lain yang perlu dicarikan hujjah yang
yang paling rajih dan sesuai dengan kemaslahatan saat ini. Dengan kebutuhan
seperti itu, maka penulis mencoba mencari jawaban dari rumusan-rumusan yang
telah dikemukakan di muka, mengenai kedudukan CCTV dalam alat bukti menurut
pandangan islam.
CCTV adalah Closed Circuit Television yang artinya sebuah kamera pengintai
yang dapat merekam gambar dan suara, ke dalam sebuah monitor yang rekamannya
bisa tersimpan dengan bantuan perangkat lain yang disebut DVR yang di dalamnya
terdapat sebuah hardisk yang kemudian dikelola sehingga menjadi file rekaman
untuk memutar ulang apa yang terekam oleh CCTV tersebut.[14]
Perkembangan CCTV sekarang ini adalah adanya CCTV online yang kemudian bisa
diakses oleh pemiliknya baik melalui komputer maupun smartphone. Juga bisa
menjadi sebuah alarm keamanan ketika ada sebuah gerakan yang terjadi di lokasi
CCTV tersebut.
Perangkat ini digunakan untuk mengawasi dan merekam segala bentuk
aktifitas dalam suatu lokasi tertentu. Pada umumnya CCTV digunakan sebagai
pelengkap keamanan dan banyak dipakai di dalam industri-industri dan
tempat-tempat umum seperti bandara, toko, kantor, minimarket bahkan cafe.
3. Hukmul Ashli
Sebagaimana dalam persaksian seseorang, maka saksi dikategorikan sebagai
alat bukti dalam sebuah peradilan. Dalam hal persaksian dalam islam, bahwasanya
saksi merupakan orang yang meliat secara langsung suatu kejadian atau
mendengarkan suatu peristiwa seperti kesaksian atas kematian.[15]
Dalam persaksian ini ada beberapa kejadian yang memperbolehkan adanya
kesaksian seseorang, yaitu berkaitan dengan kasus kesaksian kematian, zina,
perkara yang diancam hukum had, qishas, serta perkara-perkara gugatan harta
benda, perkawwinan, perwakilan, wasiat, idah, wakaf, perdamaian, hibah,
pengakuan dan pembebasan. Khusus dalam perkara zina maka dibutuhkan empat orang
saksi, adapun perkara-perkara lain seperti yang telah disebutkan tadi
membutuhkan dua orang saksi.[16]
Berkaitan dengan saksi ini para ulama berbeda pendapat mengenai
keharusan saksi dengan dua orang laki-laki ataupun seorang saja. Diantaranya
adalah pendapat Ibnul Qoyyim, ia berpendapat bahwa boleh kesaksian seorang
laki-laki apabila ia dikenal keadilannya selain perkara yang diancam hukuman
had.[17]
Perkara-perkara yang diancam hukuman had diantaranya adalah jarimah perzinaan,
penuduhan zina dan pemcemaran nama baik, meminum khamr dan penyalahgunaan narkoba,
pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan.[18]
Pendapat kedua, memperbolehkan seorang saksi dan sumpah dalam kesaksian
tentang sengketa harta benda dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ini menurut
pendapat Madzhab Syafi’i, Hanbali, dan al-Laits.[19]
Kemudian berkaitan dengan persaksian yang dilakukan oleh wanita, ulama
salaf dan khalaf memperbolehkan hal itu untk perkara selain yang diancam
hukuman had dan qishas. Adapun menurut pendapat yang kuat bahwasanya seorang
wanita hanya boleh menjadi saksi dalam perkara yang lazimnya hanya boleh
diketahui oleh wanita seperti menyusui dan melahirkan.[20]
Menurut Imam Abu Hanifah, as-Syafi’i, dan Ahmad bahwa kesaksian yang
dilakukan oleh anak tidakdapat diterima, dan dalam kasus sengketa antara anak
yang saling melukai satu sama lain dalam hal ini kesaksiannya bisa diterima
asalkan anak tersebut belum meninggalkan tempat kejadian. Fuqaha juga
berpendapat bahwa seorang muslim boleh memberikan kesaksiannya kepada non
muslim.[21]
Adapun mengenai kesaksian nonmuslim untuk orang muslim tidak
diperkenankan kecuali dalam keadaan darurat. Dalam hal ini Ibnu Abbas
memperbolehkan kesaksian tersebut (nonmuslim)
yaitu golongan dari ahli kitab. Ssedangkan Ibnu al-Qoyyim berpendapat
bolehnya kesaksian yang dilakukan oleh nonmuslim baik dalam keadaan darurat
ataupun tidak asalkan disertai dengan sumpah, karena menurutnya saksi ataupun
bukti haruslah bisa menjelaskan dan menyampaikan suatu kebenaran, sedang non
muslim kadang-kadang dapat menjamin kepercayaannya, dalam hal ini maka
kesaksiannya bisa diterima.[22]
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kesaksian yang
dilakukan baik oleh dua orang laki-laki, seorang laki-laki, perempuan ataupun
non muslim bisa digunakan sebagai alat bukti dalam suatu perkara tertentu.
4. ‘Illat
Dalam beberapa uraian dan penjelasan di atas mengenai saksi maka bisa
diperoleh keterangan bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti yang bisa
digunakan dalam memperolah kebenaran adanya suatu peristiwa atau kejadian yang
terjadi. Karena saksi meihat secara langsung suatu kejadian dengan mata kepala
sendiri. Dan mengenai aturan yang mengharuskan adanya saksi lain adalah karena
untuk menyesuakin apa yang dilihatnya antara satu saksi dengan saksi lainnya terhadap
suatu kejadian yang terjadi.
Oleh karenanya menurut hemat penulis, bahwa keterangan ataupun terangnya
suatu kejadian baik dengan penglihatan secara langsung ataupun suatu
pendengaran itu merupakan alasan (‘illat) dari seorang saksi.
Sebagaimana fungsi sebuah CCTV yaitu bisa melihat suatu kejadian tertentu dalam
satu lokasi.
Tentunya dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Seperti halnya seorang saksi dipersyaratkan dengan adil, maka CCTV harus
dipastikan terlebih dahulu keaslian hasil rekamanya. Karena syarat adil dalam
islam adalah sebagai jaminan bahwa orang yang memberikan kesaksian tersebut
bisa diterima kebenarannya dan hanya kemungkinan kecil bahwa ia berbohong dalam
memberikan kesaksiannya.
E.
CCTV Sebagai Alat Bukti Hukum Di Indonesia
Peran CCTV (Closed Circuit
Television) seringkali terlibat dalam perkara-perkara hukum yang terjadi di
Indonesia, dimana jaksa penuntut umum menggunakan CCTV sebagai barang/alat
bukti dalam upaya pengungkapan kebenaran di Pengadilan. Di sisi lain CCTV belum
mendapatkan legalitas sebagai barang/alat bukti yang sah dalam
perundang-undangan di Indonesia, dalam KUHAPid alat bukti yang sah hanya ada 5
yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Sedangkan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) alat bukti yang sah
berjumlah 5 macam yaitu: surat-surat, kesaksian, persangkaan, pengakuan, dan
sumpah.
Pembuktian dalam Kamus Besah Bahasa
Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang
pembuktian itu sendiri adalah prosesnya dengan kata lain usaha untuk
menunjukkan benar atau salahnya terdakwa dalam persidangan. Pembuktian memeliki
arti yang beragagam dimata ahli hukum, beberapa ahli hukum yang memberikan arti
pembuktian diantaranya adalah:
a.
Menurut
R. Subekti, bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim dengan kebenaran
dalil-dalil dalam suatu persengketaan. [23]
b.
Menurut
TM, Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa pembuktian adalah segala sesuatu yang dapat
menampakkan kebenaran baik saksi ataupun yang lain.[24]
c.
Menurut
A, Mukti Arti, bahwa pembuktian adalah pertimbangan logis suatu fakta sah denganalat bukti yang sah menurut hukum
yang berlaku.[25]
Surat-surat
yang dikehendaki adalah berupa akte dan surat-surat lain, akte haruslah
memiliki tanda tangan sehingga akte terbagi kedalam dua jenis yaitu akte resmi
dan akte dibawah tangan. Akte resmi adalah akte yang dibuat di muka pejabat
umum yang ditunjuk oleh undang-undang. Akte dibawah tangan adalah akte yang
dibuat dengan tidak menggunakan perantara pejabat. Sedangkan surat-surat lain
adalah catatan atau tulisan yang bukan akte, disini kekuatan pembuktian
terletak pada hakim. Suatu kesaksian diharuskan mengenai peristiwa-peristiwa
yang dilihat dengan mata kepala sendiri atau yang dialami sendiri, namun pada
penerapannya seorang saksi yang dibutuhkan harus lebih dari satu, sehingga akan
ada korelasi antara kedua alat bukti yang dianggap sah. Sedangkan persangkaan
merupakan kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah jelas (terang
dan nyata), kemudian alat bukti yang terakhir dalah sumpah, dalam hal ini
sumpah dibagi menjadi dua, yaitu: sumpah yang menentukan dan sumpah tambahan.
Sumpah yang menentukan yaitu sumpah yang diminta satu pihak kepada pihak lain,
sedangkan sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan kepada salah satu
pihak yang terlibat.[26]
Dalam Undang-Undang Informasi Dan
Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008 mengemukakan keabsahan alat bukti
elektronik yang terangkum dalam bab III yaitu: Pasal 5 ayat 1: “Informasi
Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupaan alat
bukti yang sah”. Dan pasal 5 ayat 2: “Informasi elektronik dan/atau
hasul cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah
sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”.
Berkaitan dengan UU ITE ini, penulis
mengkhususkan pada peran CCTV dalam upaya membantu memberikan keterangan yang
dibutuhkan dalam persidangan khususnya dalam masalah pidana. Dimana akhir-akhir
ini peran CCTV begitu penting dalam penanganan kasus, misalnya mengenai
kematian mirna dalam kasus “Kopi Sianida”, kemudian dalam kasus penistaan Agama
Oleh Basuki Tjahja Purnama “Al-Maidah 51”, kemudian penangkapan aktor kerusuhan
“Demo Damai 4 November 2016” yang melibatkan anggota HMI, dan masih banyak
kasus lain yang melibatkan CCTV atau sejenisnya sebagai alat bukti. Jika
diamati lebih lanjut CCTV saat ini telah menjamur di berbagai wilayah pelosok
Indonesia, seperti adanya CCTV yang digunakan oleh Kantor Desa, Masjid,
Pertokoan, bahkan digunakan pula oleh beberapa rumah hunian guna meningkatkan
keamanan.
Status keabsahan CCTV sebagai alat
bukti yang sah dijelaskan pada keputusan MK mengenai informasi elektronik dan
termasuk pula di dalamnya CCTV menyatakan:[27]
Mengabulkan
permohonan untuk sebagian;
a.
Frasa
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b UU No.11 Tahun 2008 tentang infromasi dan transaksi elektronik (lembaga
negara republik indonesia tahun 2008 nomor 58, tambahan lembaran negara
Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai Khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum laiinya
yang ditetaplan berdsarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3)
UUNo. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik;
b.
Frasa
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik (lembaga negara
republik indonesia tahun 2008 nomor 58, tambahan lembaran negara Republik
Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai Khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum laiinya
yang ditetapkan berdsarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3)
UUNo. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam pasal di atas yang menjadi fokus penulisan ini adalah elektronik
dan / dukumen elektronik. Dimana pengertian elektronik adalah alat yang dibuat
berdasarkan prinsip elektronika serta hal atau benda yang menggunakan alat
tersebut.[28]
Dalam informasi atau dokumen elektronik, mencakup pula CCTV, dan rekaman yang
dihasilkan oleh CCTV. Sehingga CCTV dapat menjadi alat bukti yang sah bilamana:
1. Rekaman kamera CCTV dapat dikategorikan alat bukti yang sah selama belum
ada revisi terhadap UU ITE.
2. Pengambilan salinan rekaman CCTV dilakukan secara langsung oleh pihak
yang berwenang dan sesuai dengan prosedur.
3. Rekaman CCTV dapat dibuktikan keasliannya oleh ahli.
4. Rekaman CCTV dianggap sah oleh hakim.
Kedudukan CCTV bukanlah sebagai alat bukti pengganti bila tidak
ditemukan alat bukti yang lain, melinkan rekaman CCTV hanya sebatas pelengkap
dan penguat bukti yang diberkan kepada pengadilan dalam proses mencari keadilan
dilingkungan peradilan.
Makalah ini disampaikan pada presentasi Mata kuliah Ushul Fiqh yang diampu oleh Dr. Miftahur Rohim, Pascasarjana Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya:
Kesindo Utama, 2010.
Anshoruddin. Hukum
Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2004.
Arto,
Mukti. Praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Cet II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Ash-Shiddiqy, Hasbi. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.
As-Subki,
Imam At-Taj. Jam’u al-Jawami’ terjemahan Juz 2. Kediri: Lirboyo
Press, 2014.
Djalil, A. Basiq, Peradilan Islam. Jakarata:
Amzah, 2012.
Ihsanuddin. Panduan
Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren. Yogyakarta: YKF dan Ford
Foundation, 2002.
Irfan, M. Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Amzah, 2016.
Mahkamah
Konstitusi RI. Amar Putusan. No
20/PUU-XIV/2016.
Munawwir, Ahmad
Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Muslih, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, tt.
Soetami, Siti. Pengantar
Tata Hukum
Indonesiai, Cet V. Bandung: Rafika Aditama, 2007.
Subekti. Hukum Pembuktian, Cet VIIi. Jakarta: Pradya paramita, 1987.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Zahrah,
Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.
Website
www.wikipedia.org
[1]M. Nurul Irfan,
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 1.
[2]Ibid, 12.
[3]Imam At-Taj
As-Subki, Jam’u al-Jawami’ terjemahan Juz 2, (Kediri: Lirboyo Press,
2014), 187.
[4]Muhammad Abu
Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), 356.
[5]As-Subki, Jam’u,
187.
[6]Zahrah, Ushul, 360.
[7]Ibid, 360-361.
[8]Zahrah, Ushul, 371. Lihat juga As-Subki, Jam’u, 197.
Dan Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,1999),
87-88.
[10]Anshoruddin, Hukum
Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2004), 25-26. Lihat
juga, A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta:
Amzah, 2012), 35-36.
[12]Ihsanuddin, Panduan
Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, (Yogyakarta: YKF dan Ford
Foundation, 2002), 93.
[13]Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, tt), 231.
[15]A. Basiq Djalil, Peradilan
Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 45.
[16]Ibid, 45.
[17]Ibid, 46.
[18]Irfan, Hukum Pidana Islam, 47-92.
[19]Djalil, Peradilan, 46-47.
[20]Ibid, 47.
[21]Ibid, 48.
[22]Ibid, 49.
[23]Subekti, Hukum
Pembuktian,Cet VIIi, (Jakarta: Pradya paramita, 1987), 7.
[24]Hasbi
Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 139.
[25]Mukti Arto, Praktek
Perkara pada Pengadilan Agama, Cet II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998),135.
[26]Siti soetami, pengantar
tata Hukum Indonesia,i Cet V, (Bandung: Rafika Aditama, 2007) 38-39.
[27]Mahkamah
Konstitusi RI, Amar Putusan, No 20/PUU-XIV/2016, 97-98.
[28]Wikipedia.org