Halaman

Label

Senin, 09 Mei 2011

Struktur Al-Qur'an

2.1 Al-Qur‘an pada masa Abu Bakar R.A.
            Setelah Rasulullah SAW wafat pemerintah dipegang oleh Abu Bakar. Pada tahun pertama kepemimpinannya muncul gejolak di daerah Yamamah disebabkan munculnya Musailamah si pendusta yang mengaku dirinya nabi terakhir. Abu Nakar segera mengambil tindakan untuk memeranginya, perangpun terjadi. Akibat dari peperangan tersebut banyak menelan korban jiwa diantaranya para qari’ dan hafidz al-Qur’an yang membuat sahabat Umar menganggap perlu untuk mengumpulkan al-Qur’an.
            Dalam kitab al-Itqan, diriwayatkan dari ibnu Abi Daud dan al-Hasan bahwa Umar RA bertanya pada sebuah ayat al-Qur’an sedangkan jawabannya ada pada si fulan yang terbunuh pada perang Yamamah. Lalu Umar berkata “ inna lillah”. Dengan segera ia memerintahkan kepada para sahabat untuk mengumpulkan al-Qur’an. Dengan demikian Umar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf.[1]
            Bukhari memberitahukan melalui sanad Ubaid bin Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit berkata : “ seusai perang Yamamah aku dipanggil oleh Umar RA untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana”, Abu Bakar berkata : “Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban di kalangan qurra’ dan hafidz al-Qur’an, dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra’ dan hafidz itu juga terjadi di tempat- tempat lain, sehingga sebagian besar al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku mengumpulkan al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah “Demi Allah perbuatan tersebut baik”. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar. Zaid berkata lagi :“ Abu Bakar berkata kepadaku:” Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah oleh karena itu carilah al-Quran dan kumpulkanlah. Zaid berkata, “Demi Allah, sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung rasanya tidak lebih berat bagiku daripada mengumpulkan al-Qur’an karena itu aku menjawab lagi: “mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?”, Abu Bakar menjawab: “Demi Allah itu perbuatan yang baik”. maka akupun mulai mencari al- Qur’an. Kukumpulkan al-Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal al-Qur’an, sampai akhirnya aku pendapatkan akhir surah at-Taubah yang hanya ada ditangan Abu Khuzaimah al-Anshari saja”.
             Riwayat ini jelaslah, bahwa Abu Bakar takut bertindak apa yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, karena sangat taatnya ia kepada Nabi. Kemudian Umar RA beraijtihad dengan katanya: “Demi Allah ini suatu kebaikan”. (maksudnya untuk kemaslahatan umat, mengingat bahwa al-Qur’an sebagai dasar ajaran-ajaran agama islam).
Demikian juga Zaid bin Tsabit. Ia tidak mau bertindak gegabah dengan apa yang belum pernah Rasulullah karena takut dikatakan berbuat bid’ah terhadap masalah agama. Sedangkan dalam menyelenggarakan tugasnya dibantu oleh beberapa anggota lain, semua penghafal Al-Quran, yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tulis di masa Nabi SAW.
            Kita sudah mengetahui bahwasanya al-Qur’an sudah tercatat sebelum masa Abu Bakar, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, pelepah kurma, dan tulang-tulang. Kemudian Abu Bakar menyuruh untuk mengumpulkan catatan-catatan tersebut dalam satu mushaf. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yangmengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf, disamping juga terdapat mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubay, dan mushaf Abdullah bin Mas’ud. Namun mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan penuh ketelitian dan kecermatan seperti mushaf yang dihimpun Abu Bakar.
            Maka dengan Usaha badan ini terkumpullah al-Quran di dalam shuhuf dari lembar-lembar kertas. Selain itu, ada juga riwayat yang menerangkan, bahwa badan tersebut menulis al-Quran dalam shuhuf-shuhuf yang terdiri dari kulit dan pelepah kurma. Inilah pengumpulan kedua setelah masa Rasulullah.
2.2 Al-Quran pada masa ‘Umar R.A.
            Setelah Abu Bakar wafat, shuhuf-shuhuf itu dipegang oleh Umar. Menurut suatu riwayat Umar menyuruh menyalin al-Quran dari shuhuf-shuhuf itu pda suatu sahifah (lembaran).[2]
            Sesudah Umar wafat shuhuf atau sahifah itu disimpan oleh anak beliau Hafshah. Nyata dari berbagai riwayat, bahwa Zaid ibn Tsabit menyempurnakan pentadwinan shuhuf di masa Abu Bakar sendiri. Dan ada pula dari berbagai riwayat, bahwa bahwa yang menyimpan shuhuf itu adalah khalifah. Mulanya Abu Bakar, sesudah itu ‘Umar dan sesudahnya yaitu Hafsah. Adapun sebabnya disimpan oleh Hafsah, tidak oleh Utsman sebagai khalifah setelah wafatnya Umar, adalah karena :
a)      Hafsah itu istri Rasulullah dan anak Khalifah Umar.
b)      Hafsah it seorang yang pandai menulis dan pandai membaca.
Adapun sebab Abu Bakar dan Umar tidak menyuruh menyalin banyak, adalah karena shuhuf-shuhuf yang telah di surat itu dimaksudkan originil saja, bukan untuk dipergunakan oleh orang-orang yang hendak menghafal. Para sahabat yang telah belajar al-Quran pada masa Nabi, masih hidup dan para pelajar al-Quran yang mengajar secara hafalanpun masih banyak.
 2.3 Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan.
            Pada masa Usman terjadi perbedaan bacaan pada para sahabat dalam membaca sebagian ayat al-Qur’an dengan lafal-lafal (logat) yang berlainan, sungguhpun memiliki makna yang sama, seperti أنهل = اخّر  = Tundalah, أسرع = عجّي = Bersegeralah.
            Menurut mereka, perbedaan bacaan ini tidaklah mengubah makna al-Qur’an. Karena itu, berbagai bacaan mereka diakui oleh Rasulullah SAW. Walaupun ada perbedaan dalam lafal-lafalnya. Setelah beliau wafat, perbedaan ini semakin meruncing yakni pada zaman Abu Bakar RA. Lebih parah lagi pada zaman Usman RA, sampai-sampai terjadi percekcokan yang terjadi pada murid dan gurunya.
            Situasi yang terus begini jelas akan berakibat buruk bagi perkembangan al-Qur’an. Hal ini dirasakan oleh salah seorang sahabat, Hudzaifah bin al-Yaman.[3] Ia merasa gelisah melihat perselisihan kaum Muslimin di Armenia da Azribijan tetang bacaan Al-Quran. Maka berkatalah ia kepada Khalifah Usman: “Wahai amirulmukminin, selamatkanlah Ummat ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Quran seperti yang terjadi pada bangsa Yahudi dan Nasrani.” Usman RA segera meminta mushaf yang disimpan di rumah Hafshah, kemudian ia perintahkan Zaid bin Tsabit, Sa’id bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits, untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Kepada tiga orang dari Quraisy tersebut, Usman RA berkata: Jka kamu berselisih dengan Zaid bin Tsabit mengenai qiraat, tulislah dengan bahasa Quraisy, karena al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.[4]
            Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi empat mushaf, tiga di antaranya dikirim ke Syam, Kuffah, dan Basrah, sedangkan yang satu disimpan sendiri oleh Usman.
            Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Quran dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang di kirimkan Usman ke berbagai daerah:
A.    Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya ada tujuh buah mushaf yang di kirim ke Makkah, Syam, Basrah, Kuffah, Yaman, Bahrain dan Madinah.
B.     Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah mushaf yang dikirim ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf  Khalifah (Utsman); atau dikirim ke Kuffah, Basrah, dan Mushaf Khalifah.
C.     Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Adapun lembaran-lembaran yang asli dikembalikan kepada Hafsah dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan[5], dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar. Pengumpulan al-Quran oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengumpulan al-Quran  berlangsung tiga tahap:
Pengumpulan pertama ialah pengumpulan ayat-ayat ketika diturunkan. Ayat-ayat ini dikumpulkan di atas daftar-daftar yang umum dipakai orang Arab saat itu, kemudian diajukan kepada Nabi SAW.
Pengumpulan kedua terjadi pada zaman Abu Bakar. Saat itu ayat-ayat Al-Quran dikumpulkan di antara dua loh dan ditulis di atas potongan-potongan kulit.
Pengumpulan ketiga, terjadi pada zaman Usman bin Affan, yaitu penyatuan bacaan untuk seluruh kaum Muslimin.  
2.4 Tertib Ayat
            Al-Quran terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang panjang maupun yang pendek. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Quran. Surah adalah sejumlah ayat Quran yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat al-Quran ini taufiqi, ketentuannya dari Rasulullah. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’, di antaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far ibnu Zubair[6] dalam Munasabah-nya, di mana ia mengatakan: “tertib ayat-ayat di dalam surah-surah itu berdasarkan taufiqi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskan di tempat tersebut. Rasulullah  mengatakan kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang di dalamnya begini dan begini” atau “Letakkanlah ayat ini di tempat ini.” Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin Abil‘As berkata:
“Aku tengah duduk di samping Rasulullah SAW, tiba-tiba pandangan beliau menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan memrintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat ini dari surah ini, yaitu ayat:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)[7]
            Usman berhenti ketika mengumpulkan Quran pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam al-Quran dan sekalipun ayat itu telah di mansukh hukumnya tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat al-Quran dengan tertib seperti ini adalah taufiqy.
            Ibnu Zubair berkata: “Aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat: Dan orang-orang yg meninggal dunia di antara kamu dgn meninggalkan istri-istri..(Al-Baqarah:234) telah dimansukh oleh ayat lain tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab: ‘Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya.”[8]
            Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan ayat-ayat bersifat taufiqy, sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat ini tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
            Di samping itu diterima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah jum’at, seperti surah al-Baqarah, Ali bin ‘Imran dan al-Nisa’. Juga hadis shahih menyatakan bahwa Rasulullah membaca surah al-A’raf dalam salat maghrib dan dalam salat subuh hari jum’at membaca Alif lam mim. Tanzilul kitabi la raiba fihi”(al-Sajadah),dan ata’ ‘alal insani (al-Dahr); juga membaca surah Qaf pada waktu khutbah; surah jumu’ah dan surah al-Munafiqun dalam salat jum’at.
            Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
            Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Al-Suyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan: “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.[9]
2.5 Tertib Surah
            Para ulama’ berbeda pendapat tentang tertib surah-surah al-Qur’an.
a.       Di katakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabatpun yang menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apapun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam shalatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah membaca beberapa surah mufassal [surah-surah pendek] dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Israil, Kahfi, Maryam, Taha, dan Anbiya’: “Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Ibnu Hisar mengatakan: “Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: ‘Letakkan ayat ini di tempat ini.’ Hal tersebut telah diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau menyusun seperti ini di dalam mushaf.”[10]
b.      Dikatakan tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya:
·         Mushaf Ali disusun berdasarkan tertib Nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzzammi, dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
·         Dalam mushaf Ibn Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah al-Baqarah, kemudian Nisa dan kemudian Ali ‘Imran.
·         Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis adalah Fatihah, Baqarah, kemudian Nisa dan kemudian Ali ‘Imran.
c.       Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqify dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib As-sab’ut tiwal, al-Hawamim dan al-Mufassal pada masa hidup rasulullah. Diriwayatkan:
أنّ رسول الله صلى الله عليه و سلّم قال : اقرؤوا الزهروين : البقرة  و ال عمران
“Bahwa Rasulullah berkata: Bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, Baqarah dan Ali ‘Imran.”[11]
            Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagian surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagian bersifat tauqify.” Untuk mendukung pendapatnya ini ia kemukakan Hadits Huzaifah as-Saqafi:  “Rasulullah berkata kepada kami, telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Quran, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: Bagaimana kalian membuat pembagian Quran? Mereka menjawab: Kami membagi menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan bagian Al-Mufassal dari Qaf sampai kami khatam.”[12]
            Kata Ibn Hajar lebih lanjut: “Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”
            Apa bila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Quran dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Usman Quran dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf (logat) dan umat pun menyepakatinya. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang teguh pada mushafnya masing-masing.
            Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqify dan sebagian lainnya bersifat ijtihad, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqify. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqify dengan dalil-dalilnya yang berarti bahwa yang selain itu adalah hasil ijtihad. Di samping itu, yang bersifat demikian pun hanya sedikit sekali.
            Al-Kirmani dalam al-Burhan mengatakan: “Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada  Lauh Mahfudz, Al-Quran sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan di hadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah:
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ šcqãèy_öè? ÏmŠÏù n<Î) «!$# ( §NèO 4¯ûuqè? @ä. <§øÿtR $¨B ôMt6|¡Ÿ2 öNèdur Ÿw tbqãKn=ôàムÇËÑÊÈ  
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”(al-Baqarah[2]:281). Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat Riba’ dan ayat tentang Utang piutang.[13]
2.6 Surah-surah dan Ayat-ayat Al-Quran
Surah-surah al-Qur’an itu ada empat bagian: 1) at-Tiwal, 2) al-Mi’un, 3) al-Masani, 4) al-Mufassal. Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1)      at-Tiwal
Ada tujuh surah, yaitu al-Baqarah, Ali ‘Imran, Nisa’, al-Maidah, al-An’am, al-A’raf dan yang  ketujuh - ada yang mengatakan – al-Anfal dan al-Baraah sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah di antara keduanya. Dan dikatakan pula bahwa yang ketujuh adalah surah Yunus.
2)      Al-Mi’un
Yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebh dari seratus atau sekitar itu.
3)      Al-Masani
Yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah al-Mi’un. Dinamakan al-Masani, karena surah itu di diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari at-Tiwal dan al-Mi’un.
4)      al-Mufassal
Dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari Hujurat, juga ada mengatakan dimulai dari surah yang lain. Dikatakan Mufassal, karena banyaknya fasl (pemisah) di antara surah-surah tersebut dengan Basmalah. Mufassal dibagi menjadi tiga: Mufassal Tiwal dimulai dari surah Qaf atau Hujurat sampai dengan Amma atau Buruj. Mufassal Ausat dimulai dari surah Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah Quran terakhir.
            Jumlah surah Quran ada 114 surah. Dan dikatakan pula ada 113 surah, karena surah Anfal dan Bara’ah dianggap satu surah. Adapun jumlah ayatnya sebanyak 6.200 lebih namun “kelebihan” ini masih diperselisihkan. Seperti pendapat bahwa jumlah surah al-Qur’an ada 6.326.[14] Dan tampak banyak perbedaan dalam kelebihan perhitungan ayatnya,  ada yang menetapkan 6.204 ayat, 6.214 ayat, 6.217 ayat, 6.220 ayat, dan juga 6.326 ayat.[15] Adapun ayat terpanjang adalah ayat tentang Utang piutang, sedang surah terpanjang adalah surah al-Baqarah. Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang menghafalnya, mendorong mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah mengambil bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum syari’at.
2.7 Mushaf sesudah Utsman
            Dari naskah-naskah yang dikirim Utsman itu, umat Islam menyalin al-Quran untuk mereka masing-masing dengan sangat hati-hati, hemat dan cermat. Abdul Aziz ibn Marwan gubernur Mesir, setelah menulis mushafnya, menyuruh orang memeriksa seraya berkata: “Barang siapa dapat menunjukkan suatu kesalahan dalam salinan ini, diberikan kepadanya seekor kuda dan 30 dinar”. Diantara yang memeriksa itu ada seorang Qari’ yang dapat menunjukkan suatu kesalahan, yaitu perkataan naj’ah padahal na’jah.
            Maka dengan tersebarnya mushaf itu, bersungguh-sungguh umat Islam menghafal al-Quran, mentajwidkan hafalannya dan menyalin mushaf-mushafnya.
            Ada riwayat menerangkan bahwa bilangan mushaf yang diangkat atas ujung lembing dalam peperangan Ali dengan Mu’wiyyah ada 300 buah banyaknya. Ini membuktikan bahwa penyalinan mushaf sangat pesat dilakukan. Maka dengan berangsur-angsur lenyaplah mushaf yang ditulis para sahabat dan tinggallah dalam tangan masyarakat mushaf yang ditulis oleh ‘Usman yang dinamai dengan Mushaf Al-Imam (Mushaf Utsmani).[16]

2.8 Permulaan Al-Quran dicetak
            Al-Quran pertama kali dicetak di Hamburg (Jerman) pada akhir abad ke-17 Masehi, yakni pada tahun 1694 Masehi, di awal abad yang ke-12 dari hijrah.[17]


[1] Yang dimaksud mushaf ialah potongan-potongan kulit yang telah disamak
[2] Riwayat ini dibantah oleh sebagian ahli ilmu
[3] Ia sahabat Nabi; Pernah memimpin pasukan untuk membuka kota Hamadan, Ar-Ray, dan kota Dainur; wafat tahun 36 H
[4] Riwayat ini memperkuat makna Al-Hurufus sab’ah (tujuh huruf) di mana perbedaan itu terletak pada bacaan kalimat dengan lafal-lafal yang berbeda, tapi mengandung satu makna.
[5] Tafsir Tabrani, Jilid I, Hal. 61
[6]Ia adalah Ahmad bin Ibrahim ibnu Zubair al Andalus, salah seorang ahli nahwu dan hafidz. Wafat 807 H
[7] Hadits riwayat Ahmad dengan isnad hasan
[8] Hadits riwayat Bukhari.
[9] Lihat al-Itqan, jilid II, Hal. 61
[10] Lihat al-Itqan, jilid I, Hal. 62
[11] Hadits riwayat Muslim.
[12] Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud. Lihat pula al-Itqan jilid I, hal. 63
[13] Lihat al-Itqan, Jilid I, Hal. 62
[14]Lihat “sejarah dan pengantar ilmu Quran & tafsir” Dr. Hasbi ash Shiddiqiy. Bab II, hal. 57.
[15] Lihat Fahd bin ‘Abdirrahman al-Rumi, op. Cit., 153-154; bandingkan dengan Ibrahim al-Ayariy, op. Cit., 46.
[16] Lihat “sejarah dan pengantar ilmu Quran & tafsir” Dr. Hasbi ash Shiddiqiy. Bab III, hal. 91.
[17] Lihat “sejarah dan pengantar ilmu Quran & tafsir” Dr. Hasbi ash Shiddiqiy. Bab III, hal. 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trimakasih atas saran, kritik, dan komentnya...
semoga bisa menambah pengetahuan kita semua...amin

FeedBack!!!! trims